Yusril Takeuchi
Takeuchi – Petualangan Ke Kota Kelinci Bulan
Diterbitkan
secara mandiri
melalui
blog.yusriltakeuchi.com
Credits
Oleh: Yusril Takeuchi
Copyright © 2015
by Yusril Takeuchi
Penerbit
Yusril Takeuchi
www.yusriltakeuchi.com
yusriltakeuchi@gmail.com
Desain Sampul:
Yusril Takeuchi
Episode:
4
Diterbitkan
melalui:
Blog.yusriltakeuchi.com
Download PFD Version:
Takeuchi - Petualangan Ke Kota Kelinci Bulan
Disiang
hari yang panas, ditemani dengan secangkir es teh manis yang siap membuat
tenggorokan merasakan lega karena terlalu panasnya cuaca. Desa Honjara saat ini
sedang mengalami musim panas yang terik. Seakan-akan panasnya menusuk kedalam
tubuh. Walaupun menggunakan AC sekalipun, sulit rasanya untuk menepis teriknya
panas itu. Hari ini adalah hari liburku, yaitu hari Sabtu. Seharusnya aku
bisa bersantai sepanjang waktu, tapi
harus mengalami ketidaknyamanan ini karena suhu yang panas membara. Aku melihat
kearah Papeto disebelahku yang sedang membaca komik, sedangkan aku hanya
berbaring diatas empuknya kasur tidur. Sepertinya dia juga mengalami hal yang
sama, suhu yang panas membuat mesin dalam tubuhnya tidak bisa dingin.
Kupikir
robot memiliki sejenis kipas untuk pendingin didalam tubuhnya, namun sepertinya
Papeto berbeda. Dia dibuat seolah-olah menyerupai manusia asli. Hari unikku
dimulai kemarin sejak kedatangannya dikeluarga ini. Aku jadi mendapatkan teman
baru, karena biasanya aku selalu sendiri dikamar ini, ditemani komik-komik dan
buku novelku. Aku berkeinginan untuk memiliki sebuah Laptop, namun sepertinya
ayah dan ibu masih belum sanggup membelikannya untukku. Walau demikian, aku
harus tetap bersabar, suatu saat pasti akan tiba saat aku memilikinya.
Aku
mendekati Papeto yang sedang membaca komik, dia terlihat begitu serius, padahal
yang dia baca ialah komik lucu. Mungkin karena suhu yang panas membuat rasa
tertawanya hilang. Jika aku menjahilinya mungkin dia akan marah padaku. Seperti
biasanya diriku. Jika panas melanda, namun ada orang yang menjahiliku, emosiku
langsung melonjak naik sehingga amarah tidak bisa dikontrol lagi. Dan mungkin
Papeto juga serupa.
“Papeto,
apakah kamu tidak merasakan panas sama sekali?” tanyaku pada Papeto.
Dia
menghembuskan nafasnya begitu kencang sehingga aku dapat mendengar suaranya
begitu keras. Mungkin dia kesal padaku, sudah jelas bahwa suhu sedang panas,
tapi aku malah menanyakan hal seperti itu.
“Asal
kamu tau, walaupun aku robot, aku juga bisa merasakan panas dan tidak nyaman
seperti layaknya manusia.” jawab Papeto, melihatku dengan tatapan mata yang
serius.
Aku
memberikan masukan padanya, jika kita pergi ketempat yang cukup dingin mungkin
tidak akan merasakan panas lagi. Aku menyarankan untuk pergi ke Kutub Utara,
tapi sepertinya kupikir-pikir adalah ide yang buruk. Karena suhu disana sangat
dingin sekali. Memang aku menyukai suhu dingin, namun jika dinginnya melampaui
batas tentu saja aku tidak sanggup menahannya.
“Bagaimana
jika kita pergi kebulan? Disana mungkin dingin dan tidak sepanas disini.”
bisikku, mencoba mengajak Papeto untuk
menyetujui pergi kebulan.
Bulan
berada diluar angkasa, disana memang benar-benar hampa udara, dan kupikir
memang benar-benar dingin, walaupun aku sendiri belum pernah pergi kesana.
Sepertinya Papeto menyetujui ajakanku. Dia langsung meletakkan komiknya dan
mengajakku pergi ke taman.
“Takeuchi,
ayo kita pergi ke Taman sekarang, karena rasanya tidak mungkin aku mengeluarkan
alat yang ingin kutunjukkan ditempat sempit seperti ini.” ajaknya.
Aku
meresponnya dengan baik, kami beranjak meninggalkan kamar dan berjalan untuk
menuju Taman. Tentu sebelum keluar rumah aku harus meminta izin terlebih dahulu
kepada ibu. Aku tidak mau jika dia sampai mengkawatirkanku.
“Ibu,
aku dan Papeto ingin pergi bermain ke Taman yah.” teriakku saat berada dipintu
keluar.
“Hati-hati
yah nak, jangan pulang terlalu larut.”
Kami
menuju Taman, namun saat diperjalanan aku memikirkan Luna dan sahabatku
lainnya. Sepertinya mereka juga sedang merasakan hal yang sama denganku,
terbakar di udara yang panas. Aku meminta pada Papeto untuk mengajak sahabatku
yang lainnya, hitung-hitung agar semakin banyak yang ikut, maka akan semakin
seru nantinya.
“Papeto,
bagaimana jika kita ajak Luna, Edward, dan Steve untuk ikut dengan kita?”
ajakku padanya.
“Baiklah,
sepertinya akan bertambah menarik.”
Papeto
menyetujuinya, tentu aku sangat senang sekali mendengarnya. Rumahku kebetulan
begitu dekat dengan rumah Luna. Maka dari itu rumah yang pertama kukunjungi
ialah rumah Luna.
Kami mengetuk pintu rumahnya, berharap ada orang yang
membukakannya. Namun beberapa saat ketika ketuka dilakukan, pintu pun terbuka.
Dan disana terlihat ada Luna yang membuka pintunya.
“Heh
Takeuchi. Ada perlu apa yah?” tanya Luna padaku.
“Anu,
kamu pasti sedang merasakan kepanasan yang luar biasa bukan? Bagaimana jika
kita pergi berpetualang ke bulan? Disana mungkin lebih dingin.” ajakku.
Luna
berpikir sesuatu ketika kutanyakan hal tadi, sepertinya dia sedang memikirkan
apakah ada jadwal les untuk hari ini atau tidak. Namun kulihat dari ekspresi
wajahnya, sepertinya dia tidak ada jadwal les untuk hari ini.
“Baiklah
aku mau, tapi aku harus izin dulu pada mamah.” ujar Luna yang menyetujuinya.
“Bagus
kalau begitu, nanti kita juga akan mengajak yang lainnya”
Luna
memasuki ruang tamu yang kebetulan disana terdapat mamahnya yang sedang
menonton tv. Dia meminta izin untuk ikut bermain denganku, dan hasilnya sesuai
rencana. Mamah Luna menyetujui untuk bermain denganku. Kami berangkat menuju
rumah Edward dan Steve sehingga kami semua sudah berkumpul dan langsung berlari
menuju Taman. Kebetulan saat itu Taman sedang sepi, mungkin karena cuaca yang
begitu panas membuat anak-anak malas bermain ke Taman. Karena pasti akan
menyebabkan demam yang tinggi. Papeto mengeluarkan suatu alat dari dalam
Tasnya. Bentuknya besar sekali, dan kurasa itu adalah sebuah roket untuk menuju
bulan.
“Perkenalkan
salah satu alatku ini teman-teman, ini bernama Roket Bintang. Dengan
menggunakan ini kita bisa menjelajah luar angkasa yang luas.” ujar Papeto,
menjelaskan tentang alat yang dikeluarkannya.
“Wah
besarnya, apakah cukup untuk 4 orang?” tanya Luna.
“Tentu
saja cukup, roket ini memiliki daya tampung maksimal 10 orang.” jawab Papeto.
Kami
beranjak menuju pintu masuk Roket. Kulihat dipintunya terdapat seperti
pengaman. Dan perlu memasukan kata sandi untuk bisa membuka pintunya. Papeto
mencoba memasukan kata sandinya dan berhasil. Kami memasuki Roket Bintang itu
dengan penuh rasa kagum. Didalamnya begitu luas, seolah-olah seperti
Supermarket dekat rumahku. Kami mencoba mengelilingi seluruh ruangan yang
berada didalamnya. Disana terdapat ruang tidur, ruang kendali, ruang makan,
ruang dapur, ruang mesin, dan ruangan lainnya. Kami sudah tidak sabar ingin
merasakan pertama kalinya pergi kebulan. Papeto membimbing kami untuk pergi
keruang tidur masing-masing. Disana terdapat 10 ruang tidur dan kamarku
bernomor 2 sedangkan Luna nomor 3. Papeto menyuruh kami untuk masuk kedalam
kamar masing-masing untuk menyetel kata sandi kamar kami sendiri.
Saat
tugas yang kami lakukan sudah selesai, kami beranjak menuju ruang kendali.
Disana terdapat banyak tombol-tombol seperti layaknya Pesawat Terbang. Sebelumnya
aku pernah bermain game Pesawat Terbang di Time Zone, namun tombolnya tak
sebanyak ini. Papeto memberikan kami sebuah coklat yang cukup unik. Bentuknya
seperti helm ruang angkasa yang digunakan kebanyakan Astronot.
“Coklat
apa ini Papeto?” tanya Edward, menjilat-jilat sekujur tubuh coklat itu.
“Ini
Coklat Adaptasi. Jika memakan ini kita akan bisa bernapas diluar angkasa tanpa
menggunakan helm oksigen.” jawab Papeto.
Dia
menyuruh kami untuk memakannya, karena itu sangat penting. Dengan menggunakannya
kita bisa bernapas diluar angkasa tanpa harus menggunakan helm yang dipenuhi
oksigen.
Tak kusangka ternyata coklat tadi sangat enak sekali.
Bahkan jika Papeto memberiku sebanyak 1 toples, aku bisa menghabiskannya dalam
waktu singkat. Papeto duduk dibangku kendali, dan mencoba menyalakan Roket
Bintang yang luar biasa ini. Dalam hitungan 10 detik, kamipun meluncur ke
angkasa raya. Ini adalah pertama kalinya bagiku, tidak kusangka aku bisa pergi
keluar angkasa yang menjadi impianku sejak kecil.
Papeto mengendalikan
Roketnya seperti layaknya Astronot Professional. Tentu aku sudah mengetahuinya,
Papeto robot yang sangat pintar. Bagaimana tidak, dia bisa menciptakan
alat-alat menakjubkan ini. Dalam beberapa menit kami terombang ambing di
angkasa luas. Tanpa oksigen dan gravitasi yang menariknya. Ditempat ini begitu
sangat gelap, tidak ada cahaya yang bersinar kecuali dari bintang, bulan,
matahari, dan planet lainnya.
Kami
sampai dan mendarat dipermukaan bulan dengan selamat. Aku sering mendengar
banyak orang yang menggombal kepada kekasihnya dengan kata-kata bahwa wajahnya
manis seperti bulan. Padahal menurutku itu adalah sebuah ejekan. Bagaimana
bisa, bulan memiliki dataran yang bolong-bolong seperti layaknya wajah orang
yang berjerawat. Tapi banyak orang yang menganggapnya indah. Kami keluar dari
Roket, mencoba menghirup udara ditempat hampa ini. Dan ternyata coklat yang
tadi kumakan bekerja dengan baik. Aku bisa bernapas seperti layaknya berada di
bumi.
Steve
dan Edward mencoba mengambil foto selfie mereka bersama Papeto. Sedangkan aku
dan Luna berkeliling lokasi untuk melihat keadaan sekitar. Disini begitu
membosankan, tidak ada yang menarik sama sekali. Hanya terdapat dataran polos
yang tidak ada isinya sama sekali. Aku terus memperhatikan sekitar, sedangkan
Luna memilih untuk berinstirahat sebentar. Namun dari pengamatan yang
kukerjakan, sepertinya aku menemukan sesuatu yang aneh dibagian batu yang
sedang kupandangi.
Aku rasa
aku melihat sesosok kelinci, namun hanya saja kali ini mereka berdiri seperti
layaknya manusia. Dengan kuping yang panjang menjumbai keatas, dan bulunya yang
berawarna putih. Rasa penasaranku kian membara, tak dipungkiri lagi, aku
mencoba mendekatinya untuk memastikan apa sebenarnya itu. Namun ketika beberapa
meter dari target, makhluk itu menghilang dan melarikan diri. Aku berlari
sekencang-kencangnya, mencoba untuk menangkap basah makhluk itu. Namun hasilnya
nihil, tidak ada sesosok makhlukpun disana, tapi menurutku aku rasa tadi aku
melihat sesuatu.
Aku
kembali menuju Luna, dan menjelaskan padanya tentang apa yang kulihat tadi.
Tapi Luna tidak mempercayai omonganku, dia mengatakan bahwa aku hanya
berhalusinasi.
“Mungkin
kamu hanya berhalusinasi Takeuchi. Jiwa penasaranmu terhadap suatu hal yang
aneh kan begitu sangat tinggi, mungkin itu bayang-bayang dari pikiranmu.” ujar
Luna.
Aku
mengajak Luna untuk menemui teman-teman. Mereka sepertinya sedang asik
berfoto-foto dan tidak mengajak kami.
Steve memiliki ponsel yang sangat bagus dan mahal, harga
ponsel itu kisaran diatas Rp4.000.000,- Wajar saja, dia anak dari keluarga
orang kaya, apapun bisa dia beli dan bahkan handphone yang sedang trend.
Kuhampiri
mereka dan mengatakan sesuatu yang tadi kulihat dibalik batu sebelah utara
tempatku berdiri pada teman-temanku.
“Ah anu,
sepertinya aku tadi melihat sesosok makhluk misterius, dia bertubuh seperti
hewan namun bisa berdiri seperti layaknya manusia.”
“Paling
itu hanya imajinasimu saja Takeuchi, mana mungkin ada makhluk seperti itu
disini!” tawa Steve yang tidak percaya dengan ucapanku.
Namun
sepertinya Papeto mempercayainya, karena dimasa depan hewan-hewan seperti itu bukanlah
hal yang aneh. Sudah banyak astronot yang menjelajah galaxy yang begitu luas,
sehingga menemukan berbagai jenis alien yang tinggal diantara planet itu.
“Kamu
melihatnya dimana Takeuchi?” tanya Papeto penasaran.
“Aku
melihatnya dibebatuan sebelah sana, apakah kita kan pergi untuk memastikannya?”
tanyaku dan menunjuk kearah bebatuan tadi.
“Tentu
saja, itu akan menjadi sebuah misteri yang akan kita pecahkan, dan akan
menambah kesan petualangan.”
Kami
bergegas menuju bebatuan tadi, mencari petunjuk dan jejak makhluk yang tadi
kulihat, kuharap semoga barusan bukan imajinasiku semata. Papeto mengeluarkan
sebuah alat untuk mendeteksi jejak kaki. Dengan alat itu, kita bisa mendeteksi
jejak kaki sesuatu serta bisa melihat wujud aslinya.
“Alat
apa lagi itu Papeto?” tanya Edward, memegang-megang benda ditangan Papeto.
“Ini
Kaca Pembesar Wujud Asli, asal kamu tahu, dengan alat ini semua penjelajahan
terhadap makhluk aneh akan menjadi lebih mudah. Karena kita akan bisa melihat
wujud asli dari pemilik jejak kaki tersebut.”
Tak
kusangka, alat itu begitu canggih. Dengan menggunakan alat itu mungkin aku bisa
mencari keberadaan Big Foot.
Pencarian kami membawakan hasil yang baik, aku menemukan
sebuah jejak kaki didekat pasir yang lokasinya tidak jauh dari bebatuan tadi.
Memang sungguh aneh, seharusnya kupikir dibulan tidak ada pasir, tapi kali ini
aku melihatnya.
“Heei
teman-teman! Lihat ini, aku menemukan sesuatu.” teriakku yang mencoba memanggil
teman-teman.
Mereka
berlarian menghampiriku, penasaran dengan apa yang kutemukan. Papeto mencoba
mendeteksi siapa pemilik jejak kaki tersebut, dan ternyata hasil scan dari Kaca
Pembesar Wujud Asli membuat kami kaget. Pemilik dari jejak kaki itu adalah
sesosok kelinci, ternyata benar dugaanku, bahwa aku tidak sedang berimajinasi.
Namun
sepertinya hanya mengetahui pemilik dari jejak kakinya saja tanpa mengetahui
dimana ia tinggal rasanya kurang menarik.
“Papeto,
apakah kita bisa mengetahui dimana lokasi pemilik jejak kaki ini?” tanyaku.
“Tentu
saja bisa, alat ini juga memiliki sistem seperti GPS, kita bisa mengetahui
lokasi makhluk pemilik jejak kaki ini.”
Kami
berjalan diatas bulan yang dingin, dengan datarannya yang penuh lubang.
Mengikuti arahan dari GPS menuju makhluk tadi. Diperjalanan kami melihat sebuah
kawah-kawah yang berada di bagian belakang bulan. Aku tidak menyangka bahwa
ternyata dibulan terdapat sebuah kawah-kawah, mungkin tempat ini tidak akan
terlihat jika diamati melalui bumi. Papeto melihat sebuah telinga dari balik
bebatuan besar didepannya. Dan GPS juga menunjukkan lokasinya berada ditempat
tersebut.
“Papeto,
apakah jangan-jangan itu makhluk yang dimaksud? Terdapat telinga kelinci
disana.” tanya Luna merasa ragu.
“Sepertinya
begitu, mari kita pastikan bersama-sama.”
Kami
menghampiri bebatuan besar itu dengan sangat perlahan, berharap makhluk itu
tidak melarikan diri. Maksud kami tidaklah jahat, kami hanya ingin berteman
dengannya, dan mengetahui semua tentangnya. Kami menyelinap melalui belakang
kelinci itu dan sepertinya dia tidak mengetahui keberadaan kami dibelakang. Namun
tingkah Luna membuatnya merasa sadar bahwa ada seseorang yang mengikutinya. Dia
berbalik kaget saat melihat kami berlima, rasa takut yang kian membara
terpancarkan diwajahnya.
“Hei
tidak perlu takut, kami datang dengan damai dan tidak akan menyakitimu.”
“Lubusikata!
Laparanda komostana?” tanya kelinci itu dengan bahasa miliknya.
Kami
sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan, karena bahasa kita berbeda
dengannya. Namun Papeto memiliki sesuatu alat yang dapat membuat kita mengerti
apa yang dibicarakannya.
“Papeto,
apakah kamu mengerti apa yang dia katakan?” tanya Edward
“Tentu
saja aku tidak paham, bahasaku berbeda dengannya.”
“Lalu
bagaimana kita bisa mengetahui apa yang dia katakan?” Edward menggaruk kepala
karena merasa kebingungan.
“Tapi
tenang saja, sepertinya aku memiliki sesuatu yang dapat membuat kita mengerti
bahasanya.”
Terlihat
Papeto kesibukan mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya, wajah bingung
terpacarkan diwajahnya.
“Dimana
yah alat yang ingin kuambil, sepertinya susah sekali menemukannya.” ucap
gelisah Papeto yang terus mencari alat yang dicari.
Pencariannya
membawakan hasil yang baik, dia berhasil menemukan alat yang dicari. Terlihat
Papeto memegang sesuatu seperti sebuah alat bantu pendengar telinga. Awalnya
kupikir Papeto mengeluarkan alat yang tidak berguna, karena telinga kami masih
bisa mendengar dengan baik namun mengapa dia mengeluarkan alat seperti itu.
“Kamu
yakin alat itu benar? Kalau diperhatikan itu seperti alat bantu dengar
telinga.” tanyaku merasa curiga dengannya.
“Kamu
tidak perlu ragu, pakai saja ini dan kamu akan mengerti apa yang dia katakan.”
Kami
masing-masing diberikan satu alat bernama Telinga Penerjemah. Dan ternyata
mesin ini benar-benar bekerja dengan sangat baik. Apa yang dikatakan kelinci
tadi dapat kami pahami dengan mudah. Aku mendekatinya, mencoba membantunya untuk
berdiri, namun ketakutan masih menguasai jiwanya. Wajar saja, sepertinya ia
sangat terkejut melihat makhluk asing seperti manusia. Kami mencoba membujuknya
untuk memastikan bahwa kami bukanlah orang jahat. Hingga akhirnya dia telah
sadar bahwa kami bukan orang jahat. Kami berjabatan saling memperkenalkan diri,
pengalaman pertama yang sangat luar biasa yaitu bisa berkenalan dengan makhluk
asing luar angkasa.
“Hai,
perkenalkan namaku Takeuchi”
“Aku
Luna”
“Namaku
Steve”
“Aku
adalah Edward, senang berkenalan denganmu”
“Dan aku
sendiri adalah Papeto si robot” ucap kami memperkenalkan diri.
Wajahnya
tersenyum, seolah-olah sudah merasa nyaman berada didekat kami. Dia menjulurkan
tangannya untuk berkenalan dengan kami.
“Perkenalkan
juga, namaku Axel. Senang berkenalan dengan kalian.” jawabnya dengan wajah tersenyum.
Kami
diajak jalan-jalan berkeliling bulan oleh Axel, dia sudah menjadi dekat dengan
kami dan sudah menjadi teman. Luna penasaran dengan segala sesuatu tentangnya,
hingga mencoba untuk bertanya sesuatu pada Axel.
“Axel,
kalau boleh tahu, kamu makhluk apa yah?”
“Aku
adalah salah satu warga dari ras Kelinci Bulan.” jawabnya
“Kelinci
Bulan? Kupikir itu hanya sebuah dongeng belaka.”
“Tidak
kamu salah! Kelinci Bulan itu benar-benar nyata. Kami telah tinggal begitu lama
di bulan selama ber abad-abad.”
Ucapan
Axel tadi sedikit membingungkanku, bagaimana bisa mereka telah tinggal disini
selama ber abad-abad namun belum pernah ditemukan oleh manusia. Bahkan jika
kita pergi menuju bulan, sama sekali tidak terlihat dimana desa atau kotanya.
“Tunggu
sebentar, kamu bilang sudah berada disini selama ber abad-abad? Bagaimana bisa
kalian bersembunyi begitu lama sehingga para ras Manusia sama sekali tidak bisa
menemukan kalian.” menyusul Axel dan berada didepannya.
Axel
tidak langsung menjawab pertanyaanku tadi. Kami telah sampai disuatu tempat
berlubang, menuruni tepian lingkaran untuk menuju kebawah. Disana terdapat
begitu banyak bebatuan yang besar-besar dan kuat. Kami berjalan dengan
berhati-hati, Axel tidak ingin jika keberadaan kita diketahui orang lain karena
hal itu akan membahayakan ras Kelinci Bulan. Axel mengamati salah satu bebatuan
diantara puluhan bebatuan yang berada didalam satu lubang. Dia terlihat sedang
mencari sesuatu dari tubuh batu itu.
Axel
mengagetkan kami karena perbuatannya, dia membuka kulit batu yang berada
dihadapannya seolah-olah seperti badan sebuah robot. Dan menekan tombol dari
dalam tubuh batunya.
Setelah tombol ditekan memang tidak terjadi apa-apa, tapi
setelah beberapa detik dari tombol ditekan terdengar suara-suara dari dalam tanah.
Dan permukaan bulan yang kami injak pun mulai bergetar seolah-olah telah
terjadi gempa bumi, ah salah maksudku gempa bulan.
Axel meninggalkan batu tadi, mencoba pergi ketempat yang
cukup luas dan langka dari bebatuan dengan getaran yang masih mengguncang.
Terlihat dataran bulan yang berada didepanku terbelah menjadi persegi sehingga
mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Steve terlihat ketakutan sehingga
bersembunyi dibalik tubuh Edward, sedangkan Luna memegang tanganku.
Namun
setelah benda asing itu berhasil nampak dipermukaan secara menyeluruh, kami
telah mengetahui benda apa itu, seperti sebuah gerbang yang begitu besar.
“Axel,
itu gerbang apa? Besar sekali sehingga membuat kami merinding melihatnya.” aku
ketakutan karena melihat gerbangnya begitu besar.
“Inilah
gerbang penghubung menuju tempat tinggalku.”
Aku
berlari menuju bagian belakang gerbang, disana sama sekali tidak ada apapun,
hanya gerbang yang tidak memiliki isi didalamnya. Aku bersikeras memukul-mukul
gerbang itu untuk mengetahui bahan dasar apa yang digunakannya. Sepertinya
terbuat dari besi, Tetapi aku belum pernah melihat besi yang seperti itu
sebelumnya. Papeto berteriak padaku untuk segera kembali karena kami ingin
bergegas memasukinya.
“Oooi
Takeuchi! Cepat kemari, kita akan memasuki gerbang ini.” teriak Papeto dari
arah depan gerbang.
Aku
bergegas menghampiri mereka untuk bersiap-siap memasuki gerbang nan seperti
gedung hotel. Saat gerbang dibuka tangan kami saling berpegangan, berusaha
keras agar tidak ada yang tertinggal. Setelah kuperhatikan gerbang itu
sepertinya adalah sebuah Portal. Terdapat aura-aura portal dari dalam
gerbangnya yang begitu besar. Kami memasukinya bersama-sama, awalnya aku
ketakutan, tapi walau bagaimana pun juga aku harus memaksakannya.
Rasa
kagumku mulai membesar setelah kami berhasil keluar dari portal tadi. Kami
telah tiba disebuah tebing yang tinggi membentang, kami bisa melihat seluruh
kota dari sini. Rasa kagumku begitu sangat besar, kami terbelalak melihat
tempat menakjubkan itu. Tempat ini begitu sangat indah sekali, dengan aliran
sungai mengalir dipinggir jurang-jurang, burung-burung yang berkicau riang.
Namun ada yang janggal, burung yang berkicau itu bukanlah seperti burung
biasanya, bentuknya berbeda dengan burung dibumi. Hewan itu memiliki sayap
seperti burung elang, dan bulunya yang begitu lebat, tetapi kepalanya terlihat
seperti naga. Hanya saja bentuknya tidak terlalu besar, yaitu seukuran dengan
burung pelikan.
Axel mengajak
kami untuk menuju kota, agar bisa melihat keadaan Kota tempat Axel tinggal.
“Selamat
datang teman-teman di Kota Rabiti. Disinilah tempatku tinggal, menakjubkan
bukan?” ujar Axel memperkenalkan tempatnya tinggal.
“Tempat
ini begitu menakjubkan! Aku sangat menyukai tempat ini.” Luna begitu senang,
terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Tapi
teman-teman, penampilan kita sungguh membuat orang akan mencurigai kita, karena
penampilan kita begitu asing baginya.”
“Tidak
perlu ragu, kita akan memiliki pakaian yang sama seperti mereka.” ujar Papeto
dengan merasa sangat yakin, terlihat senyuman diwajahnya.
Setelah
perkataan Papeto tadi, dia mengeluarkan alat yang bisa mengubah pakaian kita
menjadi seperti warga Rabiti. Pakaian kami telah berubah persis seperti Axel,
sehingga kami bisa lebih nyaman saat berada di Kota Rabiti.
Kami telah sampai disebuah pasar, tempat ini begitu ramai
orang-orang yang ingin membeli dan berjualan sesuatu. Ekonomi disini rasanya
cukup stabil.
Axel
menerangkan tentang segala sesuatu tempat yang telah kita lewati, salah satunya
disebuah Arena Gladiator. Ditempat ini semua pasukan-pasukan dilatih dalam
ketahanan bermain pedang. Tubuh-tubuh pasukan itu begitu kekar, dengan ototnya
yang menonjol menembus pakaiannya.
Axel membuat kami kaget akan ajakannya, dia mengajak kami
untuk mencoba berlatih menjadi Gladiator disana. Dan orang yang pertama
ditunjuknya untuk mencobanya pertama kali adalah aku sendiri. Axel memberikan
pedang kayu padaku, dan Axel pun memilikinya.
Aku
bersiap-siap akan posisi penyeranganku, walau sebenarnya aku sedikit
kebingungan ingin mengambil pola serangan atau pertahanan. Keputusan itu telah
kuambil begitu cepat, aku mengambil pola serangan, aku ingin menunjukkan skill
pedangku pada teman-teman. Aku gemar bermain game MMORPG dan RPG, itu adalah
genre game favoritku. Setiap game dan pergerakan dari tiap karakter yang
dimainkan, aku memperlajari setiap gerakan-gerakannya.
Dalam
hitungan ketiga menandakan bahwa pertarungan telah dimulai, namun awalanku
tidak sebagus Axel, aku terlalu banyak memikirkan sesuatu sehingga lengah bahwa
telah ada Axel yang menyerangku. Aku menepis serangan pedang dari Axel,
serangannya begitu kuat namun aku bisa menyainginya. Kutepiskan pedangnya dari
arahku sehingga membuat lengannya terpental dariku. Kesempatan ini kuambil
untuk mengambil serangan pertama, kupusatkan pedangku untuk menusuk dada Axel,
namun dia telah menyadarinya serta menghindar dari serangan pertamaku. Kami
bertarung begitu serius, kami begitu seimbang sehingga sulit untuk menentukan
siapa pemenangnya.
Aku
sudah mulai mengambil pola serangan tubuh, pedang Axel dapat kuhindari dan
langsung memukul perutnya sehingga melontarkan tendangan yang cukup kuat yang
membuatnya terpental. Aku mendapatkan kesempatan lagi, ku berlari dan melompat
untuk melesatkan seranganku. Axel begitu kuat sehingga masih sanggup
menghindar, setelah kupikir-pikir sepertinya dia salah satu dari pasukan yang
berada disini. Kemampuannya dalam bermain pedang begitu hebat.
Setelah
cukup lama bertarung, aku mengeluarkan seluruh kekuatanku menjadi satu.
Gerakanku begitu cepat menancapkan pedang kearahnya. Axel membalas seranganku
dengan cara bertahan dari sayatan pedang kayu yang ku pegang. Kesempatan
terakhirku telah tiba, Axel telah lengah dan terdapat sebuah celah untuk
mengalahkannya dalam satu tusukan. Kutusukan pedang kayu ini kearah dada
sebelah kanan Axel, sehingga dia tersontak kaget membuatnya semakin gelisah.
Aku terus menyerang dan memukul tubuhnya begitu cepat sehingga membuatnya sulit
untuk bergerak. Dan serangan terakhirku, yaitu tendangan berputar diudara.
Tendangan yang cukup keras itu menendang wajah Axel dengan begitu keras
membuatnya terpental cukup jauh dari hadapanku.
Teman-teman
yang menonton telah kubuat kaget, Steve mengusapkan matanya untuk memastikan
bahwa kejadian tadi adalah nyata. Namun dia sepertinya harus mempercai keadaan
itu. Aku berhasil mengalahkan Axel dengan kemampuan-kemampuan yang telah
kupelajari dari dalam game. Tubuh Axel lemas karena tendangan maut tadi, aku
menghampirinya untuk mencoba membantunya berdiri. Dia tersenyum lebar, dan sangat
terkagum dengan kemampuanku.
“Kamu
hebat sekali Takeuchi, padahal disini terlihat kamu masih baru, tapi sudah bisa
mengalahkanku yang sudah 1 tahun berlatih disini.” ujar Axel kagum.
“Terima
kasih banyak, jangan terlalu berlebihan seperti itu, mungkin aku hanya
kebetulan saja.”
“Kamu
belajar dari mana pola serangan seperti itu?” tanya Axel bingung akan teknik
serangan yang kupakai.
“Aku
belajar semuanya dari game MMORPG dan RPG”
“Dari
dalam Game?!” Axel tersontak kaget.
“Apakah
ada yang salah?” tanyaku
“Tidak
ada, hanya saja kamu hebat sekali bisa melakukan serangan seperti itu hanya
mempelajarinya dari dalam game.”
“Itu
masih belum seberapa kok, masih banyak yang lebih hebat dariku.” jawabku malu
sambil menundukkan kepala.
Teman-teman
yang lain menghampiri kami, mencoba melihat keadaan kami, namun beberapa saat
datanglah seorang pria bertubuh kekar dari arah barat. Kulihat wajah Axel, dia
tersenyum dengan kehadiran pria itu. Sepertinya dia senang akan kehadirannya.
Axel berlari menghampirinya lalu memeluknya dengan erat. Kami heran, siapakah
orang itu? Apakah Ayah Axel?
Kedua
ksatria Kelinci Bulan itu menghampiri kami, Axel mencoba memperkenalkan orang
itu pada kami.
“Perkenalkan
teman-teman, dia adalah kakakku, namanya Vaako.” Axel memperkenalkan kakakknya
kepada kami.
“Kakakmu?
Kupikir dia Ayahmu.” ujar Edward bingung.
“Mana
mungkin dia ayahku, wajahnya saja masih begitu muda seperti ini.”
Kami
saling berkenalan dengan kakak Axel, tangannya yang mengcengkramku begitu kuat,
seolah-olah sedang dicengkram oleh tangan batu.
Vaako sebenarnya ingin mengajak kami berkeliling, namun
dia sedang memiliki jadwal untuk latihan. Maka dari itu Axel lah yang
membimbing kami.
Axel mencoba mengajak kami pergi kerumahnya, untuk
beristirahat serta memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya.
“Hei
teman-teman, bagiamana jika kalian mengunjungi rumahku? Akan kukenalkan kepada
kedua orang tuaku nanti.” ajak Axel bersikeras.
Tanpa
pikir panjang kami menyetujuinya, dan langsung berjalan menuju rumah Axel.
“Tentu saja,
ayo kita pergi!” ucap kami penuh semangat.
Kami
tiba dirumah Axel, rumahnya memang terbilang tidak terlalu besar, namun aku
merasakan aroma kenyamanan disini. Seolah-olah membuatku ingin tinggal lebih
lama. Axel mengetuk pintu rumahnya, mencoba mendapatkan balasan dari dalam.
Saat pintu terbuka munculah seorang wanita yang cantik berhadapan dengan kami.
Sepertinya dia adalah ibunya Axel.
“Axel,
siapa mereka?” tanya ibu Axel bingung
“Perkenalkan
bu, mereka teman-temanku.” Axel memperkenalkan kami satu persatu kepada ibunya.
“Kalian
datang darimana? Sepertinya aku belum pernah melihat kalian.” tanya ibu Axel
yang penasaran dengan asal kami.
Namun
sepertinya kita tidak boleh mengatakan sejujurnya kepadanya, karena mungkin
akan membuat kepanikan bagi ras mereka.
“Kami
datang dari tempat yang cukup jauh bi, yang jelas jauh dari tempat ini.” Luna
menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
“Apa
jangan-jangan kalian adalah ksatria legenda itu?” tanya ibu Axel
“Ksatria
legenda? Kami sama sekali tidak mengerti maksud ibu.”
Setelah
hal tadi ibu Axel tidak berkata apapun lagi. Hingga akhirnya kami dipersilahkan
masuk untuk beristirahat sejenak, ibu Axel membawakan kami sebuah minuman untuk
menyegarkan kondisi tubuh kami. Rasanya cukup nikmat, dan efek yang didapat
setelah meminumnya adalah kesegaran. Tubuh kami terasa begitu segar bugar
seperti baru bangun tidur dipagi hari.
“Axel,
aku ingin menanyakan sesuatu. Sebenarnya apa maksud dari Ksatria Legenda itu?” aku
bersikeras ingin mengetahui hal-hal mitos yang membuatku penasaran.
Axel
terbangun dari duduknya, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya dari yang
kutanyakan.
“Menurut
legenda kota Rabiti suatu saat akan diserang oleh sekumpulan orang-orang jahat
yang kuat. Semua warga Rabiti dibuat kewalahan oleh mereka, sehingga akhirnya
bala bantuan yang tak diundang datang membantu.” ujar Axel menjelaskan.
“Siapa
kira-kira mereka, berapa jumlahnya?”
“Jumlah
mereka ada 5 orang, sama persis seperti kalian. Namun legenda itu belum
terbukti kebenarannya karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda kota akan
diserang.”
Aku
berdiri dari tempat duduk, mencoba menekan bahu Axel.
“Percaya
atau tidak, hal tersebut perlu dijadikan untuk sebuah jaga-jaga. Setidaknya
dengan hal itu kita bisa mempersiapkan segalanya untuk jika memang hal tersebut
adalah nyata.”
Axel
menyetujuinya, karena legenda seperti itu memang perlu dijadikan sebagai
kewaspadaan untuk suatu saat nanti. Maka dari itu terbentuklah ksatria-ksatria
gladiator dan para pasukan.
Tak
terasa hari sudah menjelang malam. Kegelapan sudah menyelimuti kota Rabiti yang
indah. Semua aktifitas terhentikan, semua orang dan binatang bergegas untuk
tidur. Begitu juga kami. Kebetulan dirumah Axel memiliki beberapa kamar kosong
sehingga kami bisa menempatinya untuk tidur. Aku tidur dengan Papeto, Steve
dengan Edward, sedangkan Luna tidur sendiri. Kami tertidur dengan pulas, rasa
letih yang telah didapatkan rasanya kian menghilang dan kamipun tertidur. Semua
keluarga dirumah Axel pun sudah tidur, begitu juga dengan Vaako.
Pagi
hari pun telah tiba, kegelapan meninggalkan kota Rabiti. Suara burung-burung
terdengar merdu saat itu. Kami terbangunkan dari tidur, mencoba untuk pergi
mandi dan makan pagi. Kami semua telah berkumpul dimeja makan, begitu juga Axel
dan kakaknya Vaako. Terlihat ibu Axel keluar dari dapur untuk menyediakan makan
pagi untuk kami. Aromanya yang sedap membuat perutku semakin keroncongan.
Sehingga akhirnya semua orang telah berkumpul dimeja makan. Kami menyantap
makanan dengan sangat lahap. Jelas saja, karena kelelahan kemarin membuat kami
begitu lapar.
“Silahkan
dinikmati makanannya, anggap saja dirumah sendiri.” ujar Ayah Axel dengan
tersenyum.
Masakan
buatan ibu Axel begitu enak, tidak jauh berbeda dengan masakan ibuku. Sayangnya
disini tidak ada rendang, tapi makanan yang dihidangkannya ini juga bisa
menyaingi kenikmatan dari rendang. Selepas makanan sudah habis kami pergi untuk
berjalan-jalan berkeliling kota Rabiti. Pagi ini begitu cerah, tapi suatu hal
yang tidak diinginkan pun telah datang. Permukaan kota Rabiti bergetar, seperti
sedang ada gempa. Dari arah utara lebih tepatnya diatas tebing tempat kami
memasuki portal untuk pergi kesini terdapat sebuah ledakan yang cukup kuat.
Dari asap yang begitu lebat terlihat makhluk yang begitu mengerikan. Tubuhnya
begitu besar melunjang tinggi. Semua mata terarah ke tempat ledakan itu, ketika
asap hilang total terlihatlah pasukan-pasukan robot raksasa yang mengambil
posisi. Tiba-tiba dari arah mulut robot itu keluar sejenis hologram yang sangat
besar. Terdapat wajah seseorang yang terpampang disana. Aku bingung siapakah
dia?
“Cih...
Hezai!!” teriak Axel kesal.
“Siapa
itu Hezai?” tanyaku
“Dia
adalah penghianat Kota Rabiti!”
“Penghianat?
Memang apa yang ia perbuat?” aku bingung dengan jawaban singkatnya.
Axel
menatapku dengan serius, terlihat suasana kebencian bercampur rasa takut
menjadi satu.
“Pada
beberapa tahun yang lalu ada seorang peneliti bernama Hezai, dia peneliti yang
cukup pintar. Namun kepintarannya membawanya kearah yang buruk. Dia bersikeras berkeinginan
ingin menjadi penguasa kota Rabiti. Maka dari itu dia menciptakan sebuah
senjata berbahaya untuk membunuh sang raja dan menerobos masuk kedalam istana.”
Axel menjelaskan tentang kisahnya sambil mengambil posisi siaga.
“Lalu
apakah upaya dia berhasil?” tanyaku yang memegang dagu.
“Tentu
saja tidak. Dia telah gagal dalam membuat senjatanya sehingga menyebabkan
ledakan yang menghancurkan 10 rumah serta membunuh 20 orang.”
“Percobaan
yang gagal, niat jahatnya nyatanya telah gagal.” jawabku dengan hati yang
tenang.
“Tidak
juga. Karena kecelakaan itu Hezai diusir dari kota Rabiti sehingga membuatnya
terbengkalai di galaxy.”
Axel
mengeluarkan pedang dari punggungnya, dia sudah bersiap untuk menjalani
peperangan.
“Dan
mungkin inilah waktu yang diceritakan menurut legenda. Hezai membalaskan dendam
atas tindakan yang dianggapnya tidak adil.”
Sementara
itu dari Hologram yang besar itu terlihat sosok makhluk seperti Axel sedang
tertawa atas kedatangannya.
“Hahahaha!!
Kota Rabiti, apakah kalian mengingatku?”
“Cih! Si
penghianat Hezai telah datang untuk membalaskan dendamnya.” ujar beberapa warga
yang menatapnya.
“Setelah
kalian membuangku, aku menciptakan sebuah pasukanku sendiri, dan inilah pasukan
yang kuambil dari Planet Kokoro!”
Axel
tersontak kaget saat mendengar nama Planet Kokoro.
“Ada apa
denganmu? Mengapa kamu begitu kaget mendengar hal itu?” tanya Papeto bingung.
“Apakah
kalian tahu bahwa Planet Kokoro adalah planet yang kejam!”
“Apa
maksudmu kejam?” Luna menghadap kearah Axel.
“Disana
terdapat banyak monster-monster jahat yang tinggal menetap diplanet itu.
Siapapun yang turun kesana jika mereka tidak berhati-hati maka akan mati!”
“Lalu
bagaimana bisa Hezai menguasai mereka?”
“Mungkin
dengan teknologi yang dimilikinya.”
Semua
robot raksasa itu turun dari tebing sehingga meratakan beberapa rumah menjadi
tanah karena injakannya. Semua warga semakin panik karena kedatangannya. Semua
pasukan sudah bersiap-siap untuk melakukan penyerangan.
“Setelah
bertahun-tahun aku menciptakan senjata penghancur, sekarang adalah saatnya
balas dendam!”
“Semua
pasukan, SERAAANG!!” teriak Hezai memerintahkan pasukannya untuk mulai
menyerang.
Tembakan
pertama dilontarkan sehingga menghantam dan merobohkan menara pengantau. Sinyal
peperangan telah dibunyikan, semua warga panik berlarian sana-sini. Pasukan
Rabiti berlari dengan sigap untuk melawan pemberontak itu. Sementara itu
datanglah kakak Axel yang telah siap untuk membantu.
“Kakak!
Jangan pergi kesana, disana sangat berbahaya!” Axel takut jika kakaknya terluka.
“Tenang
saja, percayalah padaku. Aku akan kembali untukmu, lagipula ini sudah menjadi
tugasku melindungi kota Rabiti.” Vaako menepuk bahu Axel dengan penuh rasa
yakin.
Mereka
saling berpelukan, saling mengharapkan agar bisa selamat dan hidup bahagia
seperti sebelumnya. Pasukan musuh sudah mulai mendekati kami, tembakan laser
dari robot raksasa itu hampir melukai kami, kami harus bersembunyi dan
menghindar agar tidak terluka.
“Semuanya
hati hati! Kita harus mencari tempat untuk berlindung!” teriak Steve dengan
rasa takut.
“Cepat
ikuti aku, aku tahu dimana tempat persembunyian yang aman!” ajak Axel.
Sehingga
kami berlari untuk berlindung mengikuti Axel, kami telah tiba diruang bawah
tanah rahasia. Kurasa tidak banyak orang yang mengetahui tempat itu. Tempat ini
begitu gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Axel mengambil api untuk menyalakan
semua obor sehingga ruangan menjadi terang benderang. Kami berjalan mengikuti
arahan dari Axel, sehingga tibalah disebuah bangunan kecil yang kumuh.
“Tempat apa ini
Axel? Begitu menyeramkan sekali.” Luna terlihat ketakutan.
“Ini
adalah tempat rahasiaku dan kakaku. Didalam rumah itu kita akan mendapatkan
senjata untuk melawan mereka.”
“Jjjjaddi
kita akan melawan merekaa?!” isak Steve yang penakut.
“Apakah
kita akan berdiam diri saja saat kota telah diserang?
Tibalah
kami didalam rumah itu, mencoba mengambil berbagai keperluan senjata yang ada.
“Hei
pedang itu bagus, bisakah aku menggunakannya?” tanyaku pada Axel.
“Tentu.
Kamu sangat ahli bermain pedang, kamu cocok menggunakan itu.”
Papeto
membantu untuk memberikan senjata dari alat ciptaannya. Luna, Steve, Edward
menggunakan Pistol Laser milik Papeto, aku menggunakan pedang milik Axel.
Sedangkan Papeto menggunakan pedang listriknya.
Kami
telah siap untuk berperang, membantu kota Rabiti yang dijajah oleh pasukan
Hezai. Saat kami keluar dari dalam ruangan tadi, telihat banyak sekali korban
berjatuhan di medan perang. Banyak orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi
korban kebiadaban Hezai. Axel semakin kesal dibuatnya, dia bersumpah tidak akan
mengampuni Hezai.
“Hezai
keparat! Mati kau!” teriak Axel yang menyeramkan.
Kami
berpencar untuk menyerang pasukan Hezai. Beberapa pasukan Hezai pun sebagian
telah turun dari dalam robot raksasa itu. Kesempatan yang bagus, aku bisa
melawan mereka dalam keadaan tidak menggunakan robot. Aku berlari sekuat
tenaga, mengambil posisi yang tepat untuk serangan pertamaku yang begitu keras.
“Hyaaaaa!!”
aku melompat dan menancapkan pedang dipasukan musuh.
Serangan
demi serangan telah kudapati, mereka begitu kuat! Aku dibuat kewalahan.
Beberapa saat terdeteksi pasukan musuh yang ingin menyerangku dari belakang,
namun aku mengetahuinya walau dalam keadaan tiba-tiba.
“Cih!,
hampir saja mengenaiku.” aku menghindar dari serangannya.
Sementara
itu ditempat Axel, dia membantu kakaknya melawan pasukan musuh. Tembakan laser
dilontarkan kearah Axel, namun dia bisa menepis dengan pedang kokohnya. Vaako
terlihat kesal sehingga semakin terlihat brutal. Dia menendang, memukul, dan menusuk
pasukan yang membuatnya geram. Luna begitu kewalahan dengan pasukan musuh
sehingga dia terpojok dan tidak dapat bergerak lagi. Aku melihatnya, dan
berlari untuk menyelamatkan Luna. Saat musuh ingin menembak Luna, aku tepat
waktu. Aku berhasil menusuk pasukan itu sebelum dia menembak Luna. Luna
terlihat ketakutan akan hal itu sehingga dia memelukku.
“Takeuchi,
aku takut!” Luna ketakutan akan peperangan itu.
Luna
memang tidak terbiasa dengan peperangan seperti ini, karena dia hanya anak
rumahan yang setiap harinya dihabiskan dengan belajar dan belajar.
“Tenang
saja, selama ada aku disini aku berjanji akan melindungimu.” aku mencoba
menenangkan hati Luna.
“Sekarang
kita melawan bersama.” ajakku padanya.
Luna
menganggukkan kepalanya yang berarti itu adalah tanda bahwa dia menyetujuinya.
Steve
begitu senang bercampur takut saat melawan pasukan musuh, kupikir dia akan
terlihat ketakutan sekali saat hal ini datang, tapi justru dia menyukainya.
Steve terbilang anak yang manja dan takut akan hal kekerasan. Tapi saat ini dia
telah berubah total, rasanya bukan seperti Steve.
Raja telah turun tangan ikut membantu, beberapa
pengawalnya pun terlihat bersikeras untuk melindunginya. Robot Hezai hampir
mendekati Istana, harus ada serangan untuk bisa membuatnya berhenti.
“Edward!
Tembak bagian kaki robot itu sehingga membuatnya jatuh.” perintahku pada
Edward.
Terlepas
dari hal itu Edward terus menembaki kaki robot yang begitu besar, dibantu juga
dengan Steve. Usahanya membawakan hasil, kaki robot itu hancur dan menjatuhkan
robot yang memiliki berat puluhan ton.
“Gotcha!
Sekarang waktunya menyerang robot itu.” ujar Edward dengan senang.
Pertarungan
semakin sengit, begitu juga semakin banyak rumah yang hancur, warga Rabiti yang
mati dimedan perang. Aku harus berhadapan dengan beberapa pasukan musuh lagi,
mereka mengeroyokku sehingga memojokkanku. Papeto sedang berada jauh dari
lokasiku sehingga dia tidak bisa membantu. Saat aku sudah ketakutan akan
keterpojokan ini, dengan ancaman pedang-pedang penuh darah yang siap menusukku.
Ketika pedang diangkat, aku terpejamkan karena takut setengah mati. Namun aku
diselamatkan oleh seorang pria, dia menusuk pasukan itu dari belakang.
Seragamnya serupa dengan seragam musuh, tapi mengapa dia menolongku?
“Sssiapa
kamu? Mengapa kamu menolongku? Kamu adalah bagian dari mereka!” aku tersontak
kaget dan berhati-hati dengannya.
“Kamu
tidak perlu takut, aku berada dipihakmu.”
“Dipihakku?
Bagaimana bisa kamu berada di pihakku?” aku melontarkan pedang ke lehernya,
mencoba untuk mengamcamnya.
“Aku
adalah penghianat dari pasukan Hezai.”
“Penghianat?!!”
“Ya
benar, sebenarnya aku sudah muak dengan rencana jahatnya. Maka dari itu aku
berniat ingin menggagalkannya. Karena tidak sanggup akhirnya rencana ini
berhasil berjalan. Tapi aku akan membantu warga Rabiti melindungi kota ini.”
Jawab lelaki itu.
Dari
perkataannya sepertinya dia benar, aku mulai mempercayainya untuk ikut membantu
kami. Pasukan musuh telah datang lagi, tembakan laser telah terlontarkan ke
arah kami sehingga kami harus menepisnya kuat-kuat dengan pedang. Serangan dan
pukulan terlontarkan kearah musuh, inilah saat yang kutunggu-tunggu. Peperangan
didunia nyata. Sebenarnya aku takut akan hal ini, tapi karena terbiasa bermain
game RPG aku jadi tidak terlalu mencemaskannya. Saat musuh yang berada
dihadapan kami telah gugur, aku berniat menanyakan siapa namanya.
“Hei
anak muda, siapa namamu?” tanyaku kepada ksatria itu.
“Namaku
Ronan!” teriaknya dari arah kejauhan.
“Ah
Ronan, perkenalkan aku Takeuchi, senang berkenalan denganmu!”
Aku
berteriak kepada teman-teman untuk berkumpul, kita harus menyatukan kekuatan
untuk bisa mengalahkan mereka.
“Teman-teman,
kita berkumpul disini. Kita harus membuat sebuah rencana untuk mengalahkan
mereka.” ajakku pada teman-teman yang berada di kejauhan.
Teman-teman
berdatangan dengan kewalahan, mereka telihat sangat letih sekali. Tapi itu
menjadi sebuah pengalaman pertamanya. Anak-anak ditempatku sama sekali tidak
pernah melakukan peperangan seperti ini. Hanya terdiam didalam rumah untuk belajar,
bermain game dan bermain dengan teman-teman.
“Apakah
kalian melihat ditubuh robot raksasa itu ada sesuatu seperti Kristal?” aku
menunjukkan tanganku kearah Kristal itu.
“Tentu
kami melihatnya, lantas apa rencananya?”
“Ronan
mengatakan bahwa itu adalah pusat jantung dari robot itu. Jika kita
menghancurkannya maka seluruh sistem robotnya akan rusak.”
“Ronan?
Siapa Ronan?” tanya semua teman-teman bingung.
“Dia
teman kita, dia akan membantu kita melawan pasukan Hezai.” jawabku.
“Saat
kalian menyerang Kristal robot itu aku dan Ronan akan mencoba mendekati Hezai.”
“Baiklah
semuanya lekas bergegas!” teriakku dengan lantang.
Semuanya
pergi untuk menjalankan rencana yang telah ditentukan. Teman-temanku yang lain
bersikeras menghancurkan Kristal-kristal dari tubuh robot raksasa itu. Aku
berduet dengan Ronan mencoba menghancurkan bedebah Hezai. Saat kami berlari
dengan begitu cepatnya, tiba-tiba suara terompet yang begitu keras terdengar
dari arah portal.
“Suara
apa itu?!” Ronan tersontak kaget.
“Sepertinya
suara sebuah terompet.”
Langkah
kami terhenti saat suara itu terdengar, tiba-tiba dengan rasa takut yang
semakin membara muncullah pesawat-pesawat tempur pasukan Hezai yang begitu
banyak. Kami semakin dibuat cemas dan panik.
“Sial!
Bala bantuan Hezai telah datang.” ujar Ronan risih.
“Bala
bantuan katamu?” tanyaku.
“Ya
benar. Pesawat itu adalah bala bantuan yang akan membantu jika pasukan Hezai
sudah mengalami kemunduran drastis!”
Untungnya
nyawa kami terselematkan, pesawat tempur pasukan kota Rabiti pun ikut meluncur
membasmi semua pesawat tempur musuh. Karena sudah merasa yakin ada yang
menangani mereka kami melanjutkan mendekati Hezai. Saat itu Hezai terlihat
begitu letih, nafas yang bergerak begitu cepat terlihat dari arah kejauhan.
Saat kami melompat untuk menyayatkan pedang tajam ini kepadanya, dia
menyadarinya serta langsung menangkis serangan kami berdua. Kutendang perut
Hezai sehingga membuatnya terkagetkan dan dilanjutkan oleh serangan Ronan.
Pertarungan
2 melawan 1 berlangsung begitu serius, Hezai begitu kuat sehingga kami sulit
untuk mengalahkannya.
“Hei
Ronan, apakah Hezai pernah menjadi pasukan khusus? Kuat sekali dia!” aku
penasaran akan kekuatannya.
“Tidak
kamu salah. Dia tidak pernah menjadi pasukan khusus, hanya saja dia mempelajari
teknik bertarung dari Kakek Asajin.”
“Asajin?
Dimanakah dia berada?” tanyaku.
“Dia
berada di pesawat tempur induk, namun pesawat itu berada diluar kota Rabiti.”
Kami
terus menyabetkan pedang yang begitu tajam dan kuat kearah Hezai sehingga
membuatnya terlonta-lonta kelelahan. Kami memperhatikan sekitar, tapi hal
tersebut justru membuka peluang bagi Hezai untuk menyerang kami. Kaki Ronan
terkena sayatan pedang miliknya, sehingga Ronan kaget dan tidak bisa berdiri. Hezai menendangku dengan begitu
keras sehingga membuatku terpental jauh. Dikejauhan terlihat Ronan yang merasa
tersiksa dengan berbagai pukulan Hezai.
“Dasar
penghianat busuk!” ucap Hezai marah.
“Orang
sepertimu pantas untuk mati!”
Ronan
terlihat ketakutan, dia tidak bisa berdiri karena kakinya telah terluka cukup
parah. Ronan begitu panik, tidak tahu harus berbuat apa.
“Kamulah
yang pantas disebut busuk!” Ronan membalas cemohan Hezai.
“Berisik!
Mati Kau!” Hezai menendang Ronan dengan begitu kerasnya.
Bom asap
terlepaskan kearah Ronan, dia begitu ketakutan. Saat asap sudah menjadi tebal,
dari kejauhan Hezai melempar bom kepadanya. Dan dalam hitungan detik bom itupun
meledak sehingga menghancurkan beberapa rumah yang berada di sekitarnya.
“Tidaak!
Ronaaaan!!” teriakku yang kaget karena ledakan itu, merasa kawatir dengan
keadaan Ronan.
Amarahku
melonjak naik seperti air yang sedang dimasak dalam kompor. Kulawan semua rasa
sakit demi membalaskan dendam Ronan, dia begitu baik, aku harus bisa
membalaskan dendamnya. Aku harus membuat kematian Ronan lebih berkesan. Dan aku
terbangun dari keterbaringanku, berlari begitu cepat dan menyerang Hezai yang
sedang lengah. Hezai terlihat kaget dengan kehadiranku yang begitu tiba-tiba.
Hezai melesatkan tusukan yang begitu cepat setiap kali dia melepaskannya ke
arahku. Menahan serangannya rasanya begitu sulit karena tenanganya begitu
besar. Tak perduli dengan rasa sakit ini, aku harus terus berjuang demi Ronan.
Dia telah mengorbankan nyawanya demi aku. Kami begitu seimbang, sulit untuk
menemukan titik celah. Aku tersandung, sehingga membuat celah bagi Hezai
menyerang, bahu kananku terkena sayatan pedangnya. Rasanya begitu sangat sakit
sekali seperti disayat puluhan silet. Aku begitu kesakitan, mencoba menahan
pendarahan yang keluar dari bahu kananku.
“Hei
anak muda, apakah hanya segitu saja kemampuanmu?” Hezai menertawakanku dengan
nada yang meremehkan.
“Cih!
Ini belum seberapa, akan kubalaskan kematian Ronan untukmu keparat!”
Dengan
bahu kanan yang masih terluka parah aku terus berjuang memperebutkan
kemenangan. Ini semua demi teman-temanku, demi Axel, kota Rabiti, dan juga
untuk kematian Ronan.
“Hyaaaa!!!”
dengan satu tusukan terakhir aku berhasil menusuk perut Hezai.
Hezai
tersontak kaget, tidak mempercayai bahwa dia berhasil dikalahkan oleh siswa SMA
yang sama sekali belum pernah mendapatkan pelatihan militer. Terlihat begitu
banyak darah yang mengucur keluar dari perutnya, pedangku masih tertancap
disana dan ketika kucabutkan pedang itu. Hezai terkapar, dan nyawanya pun telah
tiada. Dengan kematian Hezai membuat semua pasukannya hilang kendali karena
tidak ada yang memandunya. Sehingga membuat mereka begitu rusak, bagaikan
seperti coding game yang memiliki banyak bug. Karena hal itulah mereka semua
berhasil dikalahkan. Aku mencoba berlari keluar dari kota Rabiti, berusaha
mencari dimana keberadaan Asajin. Aku berlarian kesana kemari, mencari pesawat
induk miliknya. Pencarianku membawakan hasil yang baik, tapi mereka sudah
mendapatkan perintah untuk mundur. Sehingga aku tidak sempat mengejar mereka,
mereka berhasil melarikan diri.
Papeto
menyusulku untuk melihat keadaanku, dia begitu kawatir ketika melihat bahu
kananku terluka begitu parah.
“Takeuchi!
Kamu terluka. Akan kuambilkan obat untukmu.” Papeto mencari obat dalam tasnya
dan memberikannya kelukaku.
Kami
kembali menuju kota Rabiti, kota ini begitu porak-poranda. Kehancuran terjadi
dimana-mana, kematian, pertumpahan darah sudah tak terbendungkan. Banyak
orang-orang yang tidak bersalah harus menjadi korban kebiadaban Hezai dan
pasukannya. Kami semua berkumpul didepan pintu gerbang istana, raja memberikan
pidato untuk warganya bahwa kita sudah aman, mereka sudah melarikan diri.
“Dan
kita harus memberikan hormat kepada Ksatria Legenda yang telah datang untuk
menolong kita.” kata Raja pada saat pidato.
“Ksatria
Legenda? Bukankah mereka sama sekali tidak datang.” kami bingung karena
perkataan tadi.
Axel
tertawa dengan pertanyaan kami, seolah-olah terdapat hal yang lucu dari itu
semua.
“Kalian
masih belum menyadarinya? Kalianlah Ksatria Legenda itu.”
“Kkkkaammii?
Rasanya begitu tidak mungkin!” kami dibuat kaget lagi dengan perkataan Axel.
“Menurut
legenda akan terdapat 5 Ksatria yang akan membantu kota Rabiti dari serangan
musuh, kalian berjumlah 5 orang, dan kalian juga yang telah mengalahkan pasukan
Hezai, maka dari itu kalianlah ksatria itu.”
Rasanya
sulit untuk dipercaya, bagaimana bisa kami menjadi ksatria legenda bagi kota
ini, yang begitu ditunggu-tunggu dari sekian lamanya. Kemenangan sudah kami
dapatkan, rasa gelisah telah hilang dari semua warga kota sehingga tergantikan
dengan ekspresi senyuman. Pada saat kami saling tertawa membicarakan suatu hal
yang lucu, tiba-tiba datanglah seorang pemuda dari arah kanan kami. Aku kaget
akan kehadirannya.
“Rrronnnaan?!”
aku terbata-bata karena melihat keadaan ini.
Aku
berlari menghampirinya, mencoba menanyakan bagaiaman keadaannya.
“Apakah
kamu baik-baik saja? Ternyata kamu masih hidup! Bagaimana bisa?”
“Tentu
saja, pada saat bom asap mengabutiku, secara tak sengaja aku menginjak pintu
bawah tanah. Sehingga aku berhasil masuk sebelum ledakan itu beraksi. Saat
didalam, aku melihat ruangan yang begitu terang. Terdapat rumah kumuh
didalamnya serta memiliki berbagai macam senjata.”
“Hei itu
ruangan rahasia milik Axel!” aku menyadarinya bahwa dia berhasil masuk kedalam
ruangan rahasia Axel.
“Benarkah?
Aku sungguh tidak menyangkanya.”
Aku dan
Ronan kembali menuju teman-teman untuk mendapatkan penghormatan. Semua orang
tertundukkan untuk menghormati kami begitupun dengan raja. Kamipun membalas
penghormatan itu dengan berdiri tegak penuh wibawa. Raja memberikan kami hadiah
karena telah membantunya, begitu banyak emas yang dia tawarkan kepada kita.
Jika kami menerimanya, aku akan bisa membeli rumah. Tapi kami sudah
merundingkan keputusan itu untuk tidak menerimanya, kami menolong dengan ikhlas
tanpa pamrih.
“Maaf
yang mulia, bukan maksud hamba menolak, tapi kami sudah merundingkan untuk
tidak menerima balasan atas yang sudah kami lakukan. Kami melakukannya dengan
ikhlas.”
Raja
begitu mengagumi kami, dia menganggap bahwa kami benar-benar ksatria legenda
itu. Sehingga suasana sunyi berubah menjadi sorakan-sorakan meriah.
“Hidup
Ksatria Legenda!” teriak semua warga yang berada di istana.
Waktu
kami untuk pulang telah tiba, Axel mengantarkan kami menuju pesawat ruang
angkasa kami. Aku akan begitu merindukannya, dia teman terbaikku. Namun pada
saat kami ingin memasuki pesawat, aku teringatkan ada pertanyaan yang belum
terjawabkan olehnya.
“Oh iya
Axel, kamu belum memberitahukan kepada kami sebenarnya bagaimana warga kota
Rabiti tidak pernah ditemukan manusia selama berabad-abad?”
“Kamu
harus berjanji tidak akan membocorkannya.”
“Aku
berjanji!” dengan nada yang sangat yakin aku menyetujuinya.
“Sebenarnya
kota Rabiti berada didalam perut Bulan. Leluhur kami menemukan tempat itu
melalui kawah-kawah yang berada dibulan ini. Sehingga terdapat lubang yang
membawa mereka menuju tempat itu. Karena merasa sulit memasukinya jika harus
memasukinya melalui kawah, teknologi terus berkembang sehingga terciptalah portal
yang begitu besar. Yang berfungsi untuk keluar masuknya dari kota Rabiti.”
Teman-temanku
berbalik arah dari haluannya dan menatap Axel dengan rasa yang penuh kagum.
“Apa?
Jadi bulan ini memiliki perut seperti layaknya bumi?” tanya semua teman-teman.
“Tentu
saja ada.” jawab Axel.
Pertanyaan
yang tertunda pun telah terjawabkan, sehingga kami bisa pulang dengan rasa
tenang. Kami telah menyadari bahwa kami telah pergi begitu lama, orang tua kami
pasti sangat mengkhawatirkan kami. Maka dari itu kami menggunakan mesin waktu
Papeto untuk pergi ke waktu 2 jam setelah kami pergi. Sehingga kami bisa pulang
kerumah dengan nyaman tanpa perlu dimarahi ibu. Pada saat sampai dirumah,
tercium aroma yang begitu sedap. Aku mengenali bau ini, rendang kesukaanku! Sehingga
aku berlari menuju ruang makan untuk menyantap masakan favoritku.
0 komentar:
Posting Komentar