Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery

23 Jun 2015

Takeuchi - Petualangan Ke Kota Kelinci Bulan [Episode 4]

Share & Comment

Yusril Takeuchi



Takeuchi – Petualangan Ke Kota Kelinci Bulan



Diterbitkan secara mandiri
melalui blog.yusriltakeuchi.com




Credits

Oleh: Yusril Takeuchi
Copyright © 2015 by Yusril Takeuchi

Penerbit
Yusril Takeuchi
www.yusriltakeuchi.com
yusriltakeuchi@gmail.com

Desain Sampul:
Yusril Takeuchi

Episode:
4

Diterbitkan melalui:
Blog.yusriltakeuchi.com

Download PFD Version:



Takeuchi - Petualangan Ke Kota Kelinci Bulan
            Disiang hari yang panas, ditemani dengan secangkir es teh manis yang siap membuat tenggorokan merasakan lega karena terlalu panasnya cuaca. Desa Honjara saat ini sedang mengalami musim panas yang terik. Seakan-akan panasnya menusuk kedalam tubuh. Walaupun menggunakan AC sekalipun, sulit rasanya untuk menepis teriknya panas itu. Hari ini adalah hari liburku, yaitu hari Sabtu. Seharusnya aku bisa  bersantai sepanjang waktu, tapi harus mengalami ketidaknyamanan ini karena suhu yang panas membara. Aku melihat kearah Papeto disebelahku yang sedang membaca komik, sedangkan aku hanya berbaring diatas empuknya kasur tidur. Sepertinya dia juga mengalami hal yang sama, suhu yang panas membuat mesin dalam tubuhnya tidak bisa dingin.

            Kupikir robot memiliki sejenis kipas untuk pendingin didalam tubuhnya, namun sepertinya Papeto berbeda. Dia dibuat seolah-olah menyerupai manusia asli. Hari unikku dimulai kemarin sejak kedatangannya dikeluarga ini. Aku jadi mendapatkan teman baru, karena biasanya aku selalu sendiri dikamar ini, ditemani komik-komik dan buku novelku. Aku berkeinginan untuk memiliki sebuah Laptop, namun sepertinya ayah dan ibu masih belum sanggup membelikannya untukku. Walau demikian, aku harus tetap bersabar, suatu saat pasti akan tiba saat aku memilikinya.

            Aku mendekati Papeto yang sedang membaca komik, dia terlihat begitu serius, padahal yang dia baca ialah komik lucu. Mungkin karena suhu yang panas membuat rasa tertawanya hilang. Jika aku menjahilinya mungkin dia akan marah padaku. Seperti biasanya diriku. Jika panas melanda, namun ada orang yang menjahiliku, emosiku langsung melonjak naik sehingga amarah tidak bisa dikontrol lagi. Dan mungkin Papeto juga serupa.
            “Papeto, apakah kamu tidak merasakan panas sama sekali?” tanyaku pada Papeto.
            Dia menghembuskan nafasnya begitu kencang sehingga aku dapat mendengar suaranya begitu keras. Mungkin dia kesal padaku, sudah jelas bahwa suhu sedang panas, tapi aku malah menanyakan hal seperti itu.
            “Asal kamu tau, walaupun aku robot, aku juga bisa merasakan panas dan tidak nyaman seperti layaknya manusia.” jawab Papeto, melihatku dengan tatapan mata yang serius.
            Aku memberikan masukan padanya, jika kita pergi ketempat yang cukup dingin mungkin tidak akan merasakan panas lagi. Aku menyarankan untuk pergi ke Kutub Utara, tapi sepertinya kupikir-pikir adalah ide yang buruk. Karena suhu disana sangat dingin sekali. Memang aku menyukai suhu dingin, namun jika dinginnya melampaui batas tentu saja aku tidak sanggup menahannya.
            “Bagaimana jika kita pergi kebulan? Disana mungkin dingin dan tidak sepanas disini.” bisikku, mencoba mengajak  Papeto untuk menyetujui pergi kebulan.
            Bulan berada diluar angkasa, disana memang benar-benar hampa udara, dan kupikir memang benar-benar dingin, walaupun aku sendiri belum pernah pergi kesana. Sepertinya Papeto menyetujui ajakanku. Dia langsung meletakkan komiknya dan mengajakku pergi ke taman.
            “Takeuchi, ayo kita pergi ke Taman sekarang, karena rasanya tidak mungkin aku mengeluarkan alat yang ingin kutunjukkan ditempat sempit seperti ini.” ajaknya.

            Aku meresponnya dengan baik, kami beranjak meninggalkan kamar dan berjalan untuk menuju Taman. Tentu sebelum keluar rumah aku harus meminta izin terlebih dahulu kepada ibu. Aku tidak mau jika dia sampai mengkawatirkanku.
            “Ibu, aku dan Papeto ingin pergi bermain ke Taman yah.” teriakku saat berada dipintu keluar.
            “Hati-hati yah nak, jangan pulang terlalu larut.”
            Kami menuju Taman, namun saat diperjalanan aku memikirkan Luna dan sahabatku lainnya. Sepertinya mereka juga sedang merasakan hal yang sama denganku, terbakar di udara yang panas. Aku meminta pada Papeto untuk mengajak sahabatku yang lainnya, hitung-hitung agar semakin banyak yang ikut, maka akan semakin seru nantinya.
            “Papeto, bagaimana jika kita ajak Luna, Edward, dan Steve untuk ikut dengan kita?” ajakku padanya.
            “Baiklah, sepertinya akan bertambah menarik.”
            Papeto menyetujuinya, tentu aku sangat senang sekali mendengarnya. Rumahku kebetulan begitu dekat dengan rumah Luna. Maka dari itu rumah yang pertama kukunjungi ialah rumah Luna.
Kami mengetuk pintu rumahnya, berharap ada orang yang membukakannya. Namun beberapa saat ketika ketuka dilakukan, pintu pun terbuka. Dan disana terlihat ada Luna yang membuka pintunya.
            “Heh Takeuchi. Ada perlu apa yah?” tanya Luna padaku.
            “Anu, kamu pasti sedang merasakan kepanasan yang luar biasa bukan? Bagaimana jika kita pergi berpetualang ke bulan? Disana mungkin lebih dingin.” ajakku.
            Luna berpikir sesuatu ketika kutanyakan hal tadi, sepertinya dia sedang memikirkan apakah ada jadwal les untuk hari ini atau tidak. Namun kulihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya dia tidak ada jadwal les untuk hari ini.
            “Baiklah aku mau, tapi aku harus izin dulu pada mamah.” ujar Luna yang menyetujuinya.
            “Bagus kalau begitu, nanti kita juga akan mengajak yang lainnya”
            Luna memasuki ruang tamu yang kebetulan disana terdapat mamahnya yang sedang menonton tv. Dia meminta izin untuk ikut bermain denganku, dan hasilnya sesuai rencana. Mamah Luna menyetujui untuk bermain denganku. Kami berangkat menuju rumah Edward dan Steve sehingga kami semua sudah berkumpul dan langsung berlari menuju Taman. Kebetulan saat itu Taman sedang sepi, mungkin karena cuaca yang begitu panas membuat anak-anak malas bermain ke Taman. Karena pasti akan menyebabkan demam yang tinggi. Papeto mengeluarkan suatu alat dari dalam Tasnya. Bentuknya besar sekali, dan kurasa itu adalah sebuah roket untuk menuju bulan.
            “Perkenalkan salah satu alatku ini teman-teman, ini bernama Roket Bintang. Dengan menggunakan ini kita bisa menjelajah luar angkasa yang luas.” ujar Papeto, menjelaskan tentang alat yang dikeluarkannya.
            “Wah besarnya, apakah cukup untuk 4 orang?” tanya Luna.
            “Tentu saja cukup, roket ini memiliki daya tampung maksimal 10 orang.” jawab Papeto.
            Kami beranjak menuju pintu masuk Roket. Kulihat dipintunya terdapat seperti pengaman. Dan perlu memasukan kata sandi untuk bisa membuka pintunya. Papeto mencoba memasukan kata sandinya dan berhasil. Kami memasuki Roket Bintang itu dengan penuh rasa kagum. Didalamnya begitu luas, seolah-olah seperti Supermarket dekat rumahku. Kami mencoba mengelilingi seluruh ruangan yang berada didalamnya. Disana terdapat ruang tidur, ruang kendali, ruang makan, ruang dapur, ruang mesin, dan ruangan lainnya. Kami sudah tidak sabar ingin merasakan pertama kalinya pergi kebulan. Papeto membimbing kami untuk pergi keruang tidur masing-masing. Disana terdapat 10 ruang tidur dan kamarku bernomor 2 sedangkan Luna nomor 3. Papeto menyuruh kami untuk masuk kedalam kamar masing-masing untuk menyetel kata sandi kamar kami sendiri.

            Saat tugas yang kami lakukan sudah selesai, kami beranjak menuju ruang kendali. Disana terdapat banyak tombol-tombol seperti layaknya Pesawat Terbang. Sebelumnya aku pernah bermain game Pesawat Terbang di Time Zone, namun tombolnya tak sebanyak ini. Papeto memberikan kami sebuah coklat yang cukup unik. Bentuknya seperti helm ruang angkasa yang digunakan kebanyakan Astronot.
            “Coklat apa ini Papeto?” tanya Edward, menjilat-jilat sekujur tubuh coklat itu.
            “Ini Coklat Adaptasi. Jika memakan ini kita akan bisa bernapas diluar angkasa tanpa menggunakan helm oksigen.” jawab Papeto.

            Dia menyuruh kami untuk memakannya, karena itu sangat penting. Dengan menggunakannya kita bisa bernapas diluar angkasa tanpa harus menggunakan helm yang dipenuhi oksigen.
Tak kusangka ternyata coklat tadi sangat enak sekali. Bahkan jika Papeto memberiku sebanyak 1 toples, aku bisa menghabiskannya dalam waktu singkat. Papeto duduk dibangku kendali, dan mencoba menyalakan Roket Bintang yang luar biasa ini. Dalam hitungan 10 detik, kamipun meluncur ke angkasa raya. Ini adalah pertama kalinya bagiku, tidak kusangka aku bisa pergi keluar angkasa yang menjadi impianku sejak kecil.
            Papeto mengendalikan Roketnya seperti layaknya Astronot Professional. Tentu aku sudah mengetahuinya, Papeto robot yang sangat pintar. Bagaimana tidak, dia bisa menciptakan alat-alat menakjubkan ini. Dalam beberapa menit kami terombang ambing di angkasa luas. Tanpa oksigen dan gravitasi yang menariknya. Ditempat ini begitu sangat gelap, tidak ada cahaya yang bersinar kecuali dari bintang, bulan, matahari, dan planet lainnya.

            Kami sampai dan mendarat dipermukaan bulan dengan selamat. Aku sering mendengar banyak orang yang menggombal kepada kekasihnya dengan kata-kata bahwa wajahnya manis seperti bulan. Padahal menurutku itu adalah sebuah ejekan. Bagaimana bisa, bulan memiliki dataran yang bolong-bolong seperti layaknya wajah orang yang berjerawat. Tapi banyak orang yang menganggapnya indah. Kami keluar dari Roket, mencoba menghirup udara ditempat hampa ini. Dan ternyata coklat yang tadi kumakan bekerja dengan baik. Aku bisa bernapas seperti layaknya berada di bumi.
            Steve dan Edward mencoba mengambil foto selfie mereka bersama Papeto. Sedangkan aku dan Luna berkeliling lokasi untuk melihat keadaan sekitar. Disini begitu membosankan, tidak ada yang menarik sama sekali. Hanya terdapat dataran polos yang tidak ada isinya sama sekali. Aku terus memperhatikan sekitar, sedangkan Luna memilih untuk berinstirahat sebentar. Namun dari pengamatan yang kukerjakan, sepertinya aku menemukan sesuatu yang aneh dibagian batu yang sedang kupandangi.

            Aku rasa aku melihat sesosok kelinci, namun hanya saja kali ini mereka berdiri seperti layaknya manusia. Dengan kuping yang panjang menjumbai keatas, dan bulunya yang berawarna putih. Rasa penasaranku kian membara, tak dipungkiri lagi, aku mencoba mendekatinya untuk memastikan apa sebenarnya itu. Namun ketika beberapa meter dari target, makhluk itu menghilang dan melarikan diri. Aku berlari sekencang-kencangnya, mencoba untuk menangkap basah makhluk itu. Namun hasilnya nihil, tidak ada sesosok makhlukpun disana, tapi menurutku aku rasa tadi aku melihat sesuatu.

            Aku kembali menuju Luna, dan menjelaskan padanya tentang apa yang kulihat tadi. Tapi Luna tidak mempercayai omonganku, dia mengatakan bahwa aku hanya berhalusinasi.
            “Mungkin kamu hanya berhalusinasi Takeuchi. Jiwa penasaranmu terhadap suatu hal yang aneh kan begitu sangat tinggi, mungkin itu bayang-bayang dari pikiranmu.” ujar Luna.
            Aku mengajak Luna untuk menemui teman-teman. Mereka sepertinya sedang asik berfoto-foto dan tidak mengajak kami.
Steve memiliki ponsel yang sangat bagus dan mahal, harga ponsel itu kisaran diatas Rp4.000.000,- Wajar saja, dia anak dari keluarga orang kaya, apapun bisa dia beli dan bahkan handphone yang sedang trend.
            Kuhampiri mereka dan mengatakan sesuatu yang tadi kulihat dibalik batu sebelah utara tempatku berdiri pada teman-temanku.
            “Ah anu, sepertinya aku tadi melihat sesosok makhluk misterius, dia bertubuh seperti hewan namun bisa berdiri seperti layaknya manusia.”
            “Paling itu hanya imajinasimu saja Takeuchi, mana mungkin ada makhluk seperti itu disini!” tawa Steve yang tidak percaya dengan ucapanku.
            Namun sepertinya Papeto mempercayainya, karena dimasa depan hewan-hewan seperti itu bukanlah hal yang aneh. Sudah banyak astronot yang menjelajah galaxy yang begitu luas, sehingga menemukan berbagai jenis alien yang tinggal diantara planet itu.
            “Kamu melihatnya dimana Takeuchi?” tanya Papeto penasaran.
            “Aku melihatnya dibebatuan sebelah sana, apakah kita kan pergi untuk memastikannya?” tanyaku dan menunjuk kearah bebatuan tadi.
            “Tentu saja, itu akan menjadi sebuah misteri yang akan kita pecahkan, dan akan menambah kesan petualangan.”

            Kami bergegas menuju bebatuan tadi, mencari petunjuk dan jejak makhluk yang tadi kulihat, kuharap semoga barusan bukan imajinasiku semata. Papeto mengeluarkan sebuah alat untuk mendeteksi jejak kaki. Dengan alat itu, kita bisa mendeteksi jejak kaki sesuatu serta bisa melihat wujud aslinya.
            “Alat apa lagi itu Papeto?” tanya Edward, memegang-megang benda ditangan Papeto.
            “Ini Kaca Pembesar Wujud Asli, asal kamu tahu, dengan alat ini semua penjelajahan terhadap makhluk aneh akan menjadi lebih mudah. Karena kita akan bisa melihat wujud asli dari pemilik jejak kaki tersebut.”
            Tak kusangka, alat itu begitu canggih. Dengan menggunakan alat itu mungkin aku bisa mencari keberadaan Big Foot.
Pencarian kami membawakan hasil yang baik, aku menemukan sebuah jejak kaki didekat pasir yang lokasinya tidak jauh dari bebatuan tadi. Memang sungguh aneh, seharusnya kupikir dibulan tidak ada pasir, tapi kali ini aku melihatnya.
            “Heei teman-teman! Lihat ini, aku menemukan sesuatu.” teriakku yang mencoba memanggil teman-teman.

            Mereka berlarian menghampiriku, penasaran dengan apa yang kutemukan. Papeto mencoba mendeteksi siapa pemilik jejak kaki tersebut, dan ternyata hasil scan dari Kaca Pembesar Wujud Asli membuat kami kaget. Pemilik dari jejak kaki itu adalah sesosok kelinci, ternyata benar dugaanku, bahwa aku tidak sedang berimajinasi.

            Namun sepertinya hanya mengetahui pemilik dari jejak kakinya saja tanpa mengetahui dimana ia tinggal rasanya kurang menarik.
            “Papeto, apakah kita bisa mengetahui dimana lokasi pemilik jejak kaki ini?” tanyaku.
            “Tentu saja bisa, alat ini juga memiliki sistem seperti GPS, kita bisa mengetahui lokasi makhluk pemilik jejak kaki ini.”
           
            Kami berjalan diatas bulan yang dingin, dengan datarannya yang penuh lubang. Mengikuti arahan dari GPS menuju makhluk tadi. Diperjalanan kami melihat sebuah kawah-kawah yang berada di bagian belakang bulan. Aku tidak menyangka bahwa ternyata dibulan terdapat sebuah kawah-kawah, mungkin tempat ini tidak akan terlihat jika diamati melalui bumi. Papeto melihat sebuah telinga dari balik bebatuan besar didepannya. Dan GPS juga menunjukkan lokasinya berada ditempat tersebut.
            “Papeto, apakah jangan-jangan itu makhluk yang dimaksud? Terdapat telinga kelinci disana.” tanya Luna merasa ragu.
            “Sepertinya begitu, mari kita pastikan bersama-sama.”

            Kami menghampiri bebatuan besar itu dengan sangat perlahan, berharap makhluk itu tidak melarikan diri. Maksud kami tidaklah jahat, kami hanya ingin berteman dengannya, dan mengetahui semua tentangnya. Kami menyelinap melalui belakang kelinci itu dan sepertinya dia tidak mengetahui keberadaan kami dibelakang. Namun tingkah Luna membuatnya merasa sadar bahwa ada seseorang yang mengikutinya. Dia berbalik kaget saat melihat kami berlima, rasa takut yang kian membara terpancarkan diwajahnya.
            “Hei tidak perlu takut, kami datang dengan damai dan tidak akan menyakitimu.”
            “Lubusikata! Laparanda komostana?” tanya kelinci itu dengan bahasa miliknya.
            Kami sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan, karena bahasa kita berbeda dengannya. Namun Papeto memiliki sesuatu alat yang dapat membuat kita mengerti apa yang dibicarakannya.
            “Papeto, apakah kamu mengerti apa yang dia katakan?” tanya Edward
            “Tentu saja aku tidak paham, bahasaku berbeda dengannya.”
            “Lalu bagaimana kita bisa mengetahui apa yang dia katakan?” Edward menggaruk kepala karena merasa kebingungan.
            “Tapi tenang saja, sepertinya aku memiliki sesuatu yang dapat membuat kita mengerti bahasanya.”
            Terlihat Papeto kesibukan mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya, wajah bingung terpacarkan diwajahnya.
            “Dimana yah alat yang ingin kuambil, sepertinya susah sekali menemukannya.” ucap gelisah Papeto yang terus mencari alat yang dicari.
           
            Pencariannya membawakan hasil yang baik, dia berhasil menemukan alat yang dicari. Terlihat Papeto memegang sesuatu seperti sebuah alat bantu pendengar telinga. Awalnya kupikir Papeto mengeluarkan alat yang tidak berguna, karena telinga kami masih bisa mendengar dengan baik namun mengapa dia mengeluarkan alat seperti itu.
            “Kamu yakin alat itu benar? Kalau diperhatikan itu seperti alat bantu dengar telinga.” tanyaku merasa curiga dengannya.
            “Kamu tidak perlu ragu, pakai saja ini dan kamu akan mengerti apa yang dia katakan.”

            Kami masing-masing diberikan satu alat bernama Telinga Penerjemah. Dan ternyata mesin ini benar-benar bekerja dengan sangat baik. Apa yang dikatakan kelinci tadi dapat kami pahami dengan mudah. Aku mendekatinya, mencoba membantunya untuk berdiri, namun ketakutan masih menguasai jiwanya. Wajar saja, sepertinya ia sangat terkejut melihat makhluk asing seperti manusia. Kami mencoba membujuknya untuk memastikan bahwa kami bukanlah orang jahat. Hingga akhirnya dia telah sadar bahwa kami bukan orang jahat. Kami berjabatan saling memperkenalkan diri, pengalaman pertama yang sangat luar biasa yaitu bisa berkenalan dengan makhluk asing luar angkasa.
            “Hai, perkenalkan namaku Takeuchi”
            “Aku Luna”
            “Namaku Steve”
            “Aku adalah Edward, senang berkenalan denganmu”
            “Dan aku sendiri adalah Papeto si robot” ucap kami memperkenalkan diri.
            Wajahnya tersenyum, seolah-olah sudah merasa nyaman berada didekat kami. Dia menjulurkan tangannya untuk berkenalan dengan kami.
            “Perkenalkan juga, namaku Axel. Senang berkenalan dengan kalian.” jawabnya dengan wajah tersenyum.
            Kami diajak jalan-jalan berkeliling bulan oleh Axel, dia sudah menjadi dekat dengan kami dan sudah menjadi teman. Luna penasaran dengan segala sesuatu tentangnya, hingga mencoba untuk bertanya sesuatu pada Axel.
            “Axel, kalau boleh tahu, kamu makhluk apa yah?”
            “Aku adalah salah satu warga dari ras Kelinci Bulan.” jawabnya
            “Kelinci Bulan? Kupikir itu hanya sebuah dongeng belaka.”
            “Tidak kamu salah! Kelinci Bulan itu benar-benar nyata. Kami telah tinggal begitu lama di bulan selama ber abad-abad.”
            Ucapan Axel tadi sedikit membingungkanku, bagaimana bisa mereka telah tinggal disini selama ber abad-abad namun belum pernah ditemukan oleh manusia. Bahkan jika kita pergi menuju bulan, sama sekali tidak terlihat dimana desa atau kotanya.
            “Tunggu sebentar, kamu bilang sudah berada disini selama ber abad-abad? Bagaimana bisa kalian bersembunyi begitu lama sehingga para ras Manusia sama sekali tidak bisa menemukan kalian.” menyusul Axel dan berada didepannya.
            Axel tidak langsung menjawab pertanyaanku tadi. Kami telah sampai disuatu tempat berlubang, menuruni tepian lingkaran untuk menuju kebawah. Disana terdapat begitu banyak bebatuan yang besar-besar dan kuat. Kami berjalan dengan berhati-hati, Axel tidak ingin jika keberadaan kita diketahui orang lain karena hal itu akan membahayakan ras Kelinci Bulan. Axel mengamati salah satu bebatuan diantara puluhan bebatuan yang berada didalam satu lubang. Dia terlihat sedang mencari sesuatu dari tubuh batu itu.
            Axel mengagetkan kami karena perbuatannya, dia membuka kulit batu yang berada dihadapannya seolah-olah seperti badan sebuah robot. Dan menekan tombol dari dalam tubuh batunya.
Setelah tombol ditekan memang tidak terjadi apa-apa, tapi setelah beberapa detik dari tombol ditekan terdengar suara-suara dari dalam tanah. Dan permukaan bulan yang kami injak pun mulai bergetar seolah-olah telah terjadi gempa bumi, ah salah maksudku gempa bulan.
Axel meninggalkan batu tadi, mencoba pergi ketempat yang cukup luas dan langka dari bebatuan dengan getaran yang masih mengguncang. Terlihat dataran bulan yang berada didepanku terbelah menjadi persegi sehingga mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Steve terlihat ketakutan sehingga bersembunyi dibalik tubuh Edward, sedangkan Luna memegang tanganku.
            Namun setelah benda asing itu berhasil nampak dipermukaan secara menyeluruh, kami telah mengetahui benda apa itu, seperti sebuah gerbang yang begitu besar.
            “Axel, itu gerbang apa? Besar sekali sehingga membuat kami merinding melihatnya.” aku ketakutan karena melihat gerbangnya begitu besar.
            “Inilah gerbang penghubung menuju tempat tinggalku.”
            Aku berlari menuju bagian belakang gerbang, disana sama sekali tidak ada apapun, hanya gerbang yang tidak memiliki isi didalamnya. Aku bersikeras memukul-mukul gerbang itu untuk mengetahui bahan dasar apa yang digunakannya. Sepertinya terbuat dari besi, Tetapi aku belum pernah melihat besi yang seperti itu sebelumnya. Papeto berteriak padaku untuk segera kembali karena kami ingin bergegas memasukinya.
            “Oooi Takeuchi! Cepat kemari, kita akan memasuki gerbang ini.” teriak Papeto dari arah depan gerbang.
            Aku bergegas menghampiri mereka untuk bersiap-siap memasuki gerbang nan seperti gedung hotel. Saat gerbang dibuka tangan kami saling berpegangan, berusaha keras agar tidak ada yang tertinggal. Setelah kuperhatikan gerbang itu sepertinya adalah sebuah Portal. Terdapat aura-aura portal dari dalam gerbangnya yang begitu besar. Kami memasukinya bersama-sama, awalnya aku ketakutan, tapi walau bagaimana pun juga aku harus memaksakannya.

            Rasa kagumku mulai membesar setelah kami berhasil keluar dari portal tadi. Kami telah tiba disebuah tebing yang tinggi membentang, kami bisa melihat seluruh kota dari sini. Rasa kagumku begitu sangat besar, kami terbelalak melihat tempat menakjubkan itu. Tempat ini begitu sangat indah sekali, dengan aliran sungai mengalir dipinggir jurang-jurang, burung-burung yang berkicau riang. Namun ada yang janggal, burung yang berkicau itu bukanlah seperti burung biasanya, bentuknya berbeda dengan burung dibumi. Hewan itu memiliki sayap seperti burung elang, dan bulunya yang begitu lebat, tetapi kepalanya terlihat seperti naga. Hanya saja bentuknya tidak terlalu besar, yaitu seukuran dengan burung pelikan.
            Axel mengajak kami untuk menuju kota, agar bisa melihat keadaan Kota tempat Axel tinggal.
            “Selamat datang teman-teman di Kota Rabiti. Disinilah tempatku tinggal, menakjubkan bukan?” ujar Axel memperkenalkan tempatnya tinggal.
            “Tempat ini begitu menakjubkan! Aku sangat menyukai tempat ini.” Luna begitu senang, terlihat dari ekspresi wajahnya.
            “Tapi teman-teman, penampilan kita sungguh membuat orang akan mencurigai kita, karena penampilan kita begitu asing baginya.”
            “Tidak perlu ragu, kita akan memiliki pakaian yang sama seperti mereka.” ujar Papeto dengan merasa sangat yakin, terlihat senyuman diwajahnya.
           
            Setelah perkataan Papeto tadi, dia mengeluarkan alat yang bisa mengubah pakaian kita menjadi seperti warga Rabiti. Pakaian kami telah berubah persis seperti Axel, sehingga kami bisa lebih nyaman saat berada di Kota Rabiti.
Kami telah sampai disebuah pasar, tempat ini begitu ramai orang-orang yang ingin membeli dan berjualan sesuatu. Ekonomi disini rasanya cukup stabil.
            Axel menerangkan tentang segala sesuatu tempat yang telah kita lewati, salah satunya disebuah Arena Gladiator. Ditempat ini semua pasukan-pasukan dilatih dalam ketahanan bermain pedang. Tubuh-tubuh pasukan itu begitu kekar, dengan ototnya yang menonjol menembus pakaiannya.
Axel membuat kami kaget akan ajakannya, dia mengajak kami untuk mencoba berlatih menjadi Gladiator disana. Dan orang yang pertama ditunjuknya untuk mencobanya pertama kali adalah aku sendiri. Axel memberikan pedang kayu padaku, dan Axel pun memilikinya.
            Aku bersiap-siap akan posisi penyeranganku, walau sebenarnya aku sedikit kebingungan ingin mengambil pola serangan atau pertahanan. Keputusan itu telah kuambil begitu cepat, aku mengambil pola serangan, aku ingin menunjukkan skill pedangku pada teman-teman. Aku gemar bermain game MMORPG dan RPG, itu adalah genre game favoritku. Setiap game dan pergerakan dari tiap karakter yang dimainkan, aku memperlajari setiap gerakan-gerakannya.

            Dalam hitungan ketiga menandakan bahwa pertarungan telah dimulai, namun awalanku tidak sebagus Axel, aku terlalu banyak memikirkan sesuatu sehingga lengah bahwa telah ada Axel yang menyerangku. Aku menepis serangan pedang dari Axel, serangannya begitu kuat namun aku bisa menyainginya. Kutepiskan pedangnya dari arahku sehingga membuat lengannya terpental dariku. Kesempatan ini kuambil untuk mengambil serangan pertama, kupusatkan pedangku untuk menusuk dada Axel, namun dia telah menyadarinya serta menghindar dari serangan pertamaku. Kami bertarung begitu serius, kami begitu seimbang sehingga sulit untuk menentukan siapa pemenangnya.
            Aku sudah mulai mengambil pola serangan tubuh, pedang Axel dapat kuhindari dan langsung memukul perutnya sehingga melontarkan tendangan yang cukup kuat yang membuatnya terpental. Aku mendapatkan kesempatan lagi, ku berlari dan melompat untuk melesatkan seranganku. Axel begitu kuat sehingga masih sanggup menghindar, setelah kupikir-pikir sepertinya dia salah satu dari pasukan yang berada disini. Kemampuannya dalam bermain pedang begitu hebat.
            Setelah cukup lama bertarung, aku mengeluarkan seluruh kekuatanku menjadi satu. Gerakanku begitu cepat menancapkan pedang kearahnya. Axel membalas seranganku dengan cara bertahan dari sayatan pedang kayu yang ku pegang. Kesempatan terakhirku telah tiba, Axel telah lengah dan terdapat sebuah celah untuk mengalahkannya dalam satu tusukan. Kutusukan pedang kayu ini kearah dada sebelah kanan Axel, sehingga dia tersontak kaget membuatnya semakin gelisah. Aku terus menyerang dan memukul tubuhnya begitu cepat sehingga membuatnya sulit untuk bergerak. Dan serangan terakhirku, yaitu tendangan berputar diudara. Tendangan yang cukup keras itu menendang wajah Axel dengan begitu keras membuatnya terpental cukup jauh dari hadapanku.
            Teman-teman yang menonton telah kubuat kaget, Steve mengusapkan matanya untuk memastikan bahwa kejadian tadi adalah nyata. Namun dia sepertinya harus mempercai keadaan itu. Aku berhasil mengalahkan Axel dengan kemampuan-kemampuan yang telah kupelajari dari dalam game. Tubuh Axel lemas karena tendangan maut tadi, aku menghampirinya untuk mencoba membantunya berdiri. Dia tersenyum lebar, dan sangat terkagum dengan kemampuanku.
            “Kamu hebat sekali Takeuchi, padahal disini terlihat kamu masih baru, tapi sudah bisa mengalahkanku yang sudah 1 tahun berlatih disini.” ujar Axel kagum.
            “Terima kasih banyak, jangan terlalu berlebihan seperti itu, mungkin aku hanya kebetulan saja.”
            “Kamu belajar dari mana pola serangan seperti itu?” tanya Axel bingung akan teknik serangan yang kupakai.
            “Aku belajar semuanya dari game MMORPG dan RPG”
            “Dari dalam Game?!” Axel tersontak kaget.
            “Apakah ada yang salah?” tanyaku
            “Tidak ada, hanya saja kamu hebat sekali bisa melakukan serangan seperti itu hanya mempelajarinya dari dalam game.”
            “Itu masih belum seberapa kok, masih banyak yang lebih hebat dariku.” jawabku malu sambil menundukkan kepala.

            Teman-teman yang lain menghampiri kami, mencoba melihat keadaan kami, namun beberapa saat datanglah seorang pria bertubuh kekar dari arah barat. Kulihat wajah Axel, dia tersenyum dengan kehadiran pria itu. Sepertinya dia senang akan kehadirannya. Axel berlari menghampirinya lalu memeluknya dengan erat. Kami heran, siapakah orang itu? Apakah Ayah Axel?
            Kedua ksatria Kelinci Bulan itu menghampiri kami, Axel mencoba memperkenalkan orang itu pada kami.
            “Perkenalkan teman-teman, dia adalah kakakku, namanya Vaako.” Axel memperkenalkan kakakknya kepada kami.
            “Kakakmu? Kupikir dia Ayahmu.” ujar Edward bingung.
            “Mana mungkin dia ayahku, wajahnya saja masih begitu muda seperti ini.”
            Kami saling berkenalan dengan kakak Axel, tangannya yang mengcengkramku begitu kuat, seolah-olah sedang dicengkram oleh tangan batu.
Vaako sebenarnya ingin mengajak kami berkeliling, namun dia sedang memiliki jadwal untuk latihan. Maka dari itu Axel lah yang membimbing kami.
Axel mencoba mengajak kami pergi kerumahnya, untuk beristirahat serta memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya.
            “Hei teman-teman, bagiamana jika kalian mengunjungi rumahku? Akan kukenalkan kepada kedua orang tuaku nanti.” ajak Axel bersikeras.
            Tanpa pikir panjang kami menyetujuinya, dan langsung berjalan menuju rumah Axel.
            “Tentu saja, ayo kita pergi!” ucap kami penuh semangat.
           
            Kami tiba dirumah Axel, rumahnya memang terbilang tidak terlalu besar, namun aku merasakan aroma kenyamanan disini. Seolah-olah membuatku ingin tinggal lebih lama. Axel mengetuk pintu rumahnya, mencoba mendapatkan balasan dari dalam. Saat pintu terbuka munculah seorang wanita yang cantik berhadapan dengan kami. Sepertinya dia adalah ibunya Axel.
            “Axel, siapa mereka?” tanya ibu Axel bingung
            “Perkenalkan bu, mereka teman-temanku.” Axel memperkenalkan kami satu persatu kepada ibunya.
            “Kalian datang darimana? Sepertinya aku belum pernah melihat kalian.” tanya ibu Axel yang penasaran dengan asal kami.
            Namun sepertinya kita tidak boleh mengatakan sejujurnya kepadanya, karena mungkin akan membuat kepanikan bagi ras mereka.
            “Kami datang dari tempat yang cukup jauh bi, yang jelas jauh dari tempat ini.” Luna menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
            “Apa jangan-jangan kalian adalah ksatria legenda itu?” tanya ibu Axel
            “Ksatria legenda? Kami sama sekali tidak mengerti maksud ibu.”
            Setelah hal tadi ibu Axel tidak berkata apapun lagi. Hingga akhirnya kami dipersilahkan masuk untuk beristirahat sejenak, ibu Axel membawakan kami sebuah minuman untuk menyegarkan kondisi tubuh kami. Rasanya cukup nikmat, dan efek yang didapat setelah meminumnya adalah kesegaran. Tubuh kami terasa begitu segar bugar seperti baru bangun tidur dipagi hari.
            “Axel, aku ingin menanyakan sesuatu. Sebenarnya apa maksud dari Ksatria Legenda itu?” aku bersikeras ingin mengetahui hal-hal mitos yang membuatku penasaran.
            Axel terbangun dari duduknya, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya dari yang kutanyakan.
           
            “Menurut legenda kota Rabiti suatu saat akan diserang oleh sekumpulan orang-orang jahat yang kuat. Semua warga Rabiti dibuat kewalahan oleh mereka, sehingga akhirnya bala bantuan yang tak diundang datang membantu.” ujar Axel menjelaskan.
            “Siapa kira-kira mereka, berapa jumlahnya?”
            “Jumlah mereka ada 5 orang, sama persis seperti kalian. Namun legenda itu belum terbukti kebenarannya karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda kota akan diserang.”
            Aku berdiri dari tempat duduk, mencoba menekan bahu Axel.
            “Percaya atau tidak, hal tersebut perlu dijadikan untuk sebuah jaga-jaga. Setidaknya dengan hal itu kita bisa mempersiapkan segalanya untuk jika memang hal tersebut adalah nyata.”
            Axel menyetujuinya, karena legenda seperti itu memang perlu dijadikan sebagai kewaspadaan untuk suatu saat nanti. Maka dari itu terbentuklah ksatria-ksatria gladiator dan para pasukan.

            Tak terasa hari sudah menjelang malam. Kegelapan sudah menyelimuti kota Rabiti yang indah. Semua aktifitas terhentikan, semua orang dan binatang bergegas untuk tidur. Begitu juga kami. Kebetulan dirumah Axel memiliki beberapa kamar kosong sehingga kami bisa menempatinya untuk tidur. Aku tidur dengan Papeto, Steve dengan Edward, sedangkan Luna tidur sendiri. Kami tertidur dengan pulas, rasa letih yang telah didapatkan rasanya kian menghilang dan kamipun tertidur. Semua keluarga dirumah Axel pun sudah tidur, begitu juga dengan Vaako.
            Pagi hari pun telah tiba, kegelapan meninggalkan kota Rabiti. Suara burung-burung terdengar merdu saat itu. Kami terbangunkan dari tidur, mencoba untuk pergi mandi dan makan pagi. Kami semua telah berkumpul dimeja makan, begitu juga Axel dan kakaknya Vaako. Terlihat ibu Axel keluar dari dapur untuk menyediakan makan pagi untuk kami. Aromanya yang sedap membuat perutku semakin keroncongan. Sehingga akhirnya semua orang telah berkumpul dimeja makan. Kami menyantap makanan dengan sangat lahap. Jelas saja, karena kelelahan kemarin membuat kami begitu lapar.
            “Silahkan dinikmati makanannya, anggap saja dirumah sendiri.” ujar Ayah Axel dengan tersenyum.
           
            Masakan buatan ibu Axel begitu enak, tidak jauh berbeda dengan masakan ibuku. Sayangnya disini tidak ada rendang, tapi makanan yang dihidangkannya ini juga bisa menyaingi kenikmatan dari rendang. Selepas makanan sudah habis kami pergi untuk berjalan-jalan berkeliling kota Rabiti. Pagi ini begitu cerah, tapi suatu hal yang tidak diinginkan pun telah datang. Permukaan kota Rabiti bergetar, seperti sedang ada gempa. Dari arah utara lebih tepatnya diatas tebing tempat kami memasuki portal untuk pergi kesini terdapat sebuah ledakan yang cukup kuat. Dari asap yang begitu lebat terlihat makhluk yang begitu mengerikan. Tubuhnya begitu besar melunjang tinggi. Semua mata terarah ke tempat ledakan itu, ketika asap hilang total terlihatlah pasukan-pasukan robot raksasa yang mengambil posisi. Tiba-tiba dari arah mulut robot itu keluar sejenis hologram yang sangat besar. Terdapat wajah seseorang yang terpampang disana. Aku bingung siapakah dia?
            “Cih... Hezai!!” teriak Axel kesal.
            “Siapa itu Hezai?” tanyaku
            “Dia adalah penghianat Kota Rabiti!”
            “Penghianat? Memang apa yang ia perbuat?” aku bingung dengan jawaban singkatnya.
            Axel menatapku dengan serius, terlihat suasana kebencian bercampur rasa takut menjadi satu.
            “Pada beberapa tahun yang lalu ada seorang peneliti bernama Hezai, dia peneliti yang cukup pintar. Namun kepintarannya membawanya kearah yang buruk. Dia bersikeras berkeinginan ingin menjadi penguasa kota Rabiti. Maka dari itu dia menciptakan sebuah senjata berbahaya untuk membunuh sang raja dan menerobos masuk kedalam istana.” Axel menjelaskan tentang kisahnya sambil mengambil posisi siaga.
            “Lalu apakah upaya dia berhasil?” tanyaku yang memegang dagu.
            “Tentu saja tidak. Dia telah gagal dalam membuat senjatanya sehingga menyebabkan ledakan yang menghancurkan 10 rumah serta membunuh 20 orang.”
            “Percobaan yang gagal, niat jahatnya nyatanya telah gagal.” jawabku dengan hati yang tenang.
            “Tidak juga. Karena kecelakaan itu Hezai diusir dari kota Rabiti sehingga membuatnya terbengkalai di galaxy.”
            Axel mengeluarkan pedang dari punggungnya, dia sudah bersiap untuk menjalani peperangan.
            “Dan mungkin inilah waktu yang diceritakan menurut legenda. Hezai membalaskan dendam atas tindakan yang dianggapnya tidak adil.”

            Sementara itu dari Hologram yang besar itu terlihat sosok makhluk seperti Axel sedang tertawa atas kedatangannya.
            “Hahahaha!! Kota Rabiti, apakah kalian mengingatku?”
            “Cih! Si penghianat Hezai telah datang untuk membalaskan dendamnya.” ujar beberapa warga yang menatapnya.
            “Setelah kalian membuangku, aku menciptakan sebuah pasukanku sendiri, dan inilah pasukan yang kuambil dari Planet Kokoro!”
            Axel tersontak kaget saat mendengar nama Planet Kokoro.
            “Ada apa denganmu? Mengapa kamu begitu kaget mendengar hal itu?” tanya Papeto bingung.
            “Apakah kalian tahu bahwa Planet Kokoro adalah planet yang kejam!”
            “Apa maksudmu kejam?” Luna menghadap kearah Axel.
            “Disana terdapat banyak monster-monster jahat yang tinggal menetap diplanet itu. Siapapun yang turun kesana jika mereka tidak berhati-hati maka akan mati!”
            “Lalu bagaimana bisa Hezai menguasai mereka?”
            “Mungkin dengan teknologi yang dimilikinya.”

            Semua robot raksasa itu turun dari tebing sehingga meratakan beberapa rumah menjadi tanah karena injakannya. Semua warga semakin panik karena kedatangannya. Semua pasukan sudah bersiap-siap untuk melakukan penyerangan.
            “Setelah bertahun-tahun aku menciptakan senjata penghancur, sekarang adalah saatnya balas dendam!”
            “Semua pasukan, SERAAANG!!” teriak Hezai memerintahkan pasukannya untuk mulai menyerang.
            Tembakan pertama dilontarkan sehingga menghantam dan merobohkan menara pengantau. Sinyal peperangan telah dibunyikan, semua warga panik berlarian sana-sini. Pasukan Rabiti berlari dengan sigap untuk melawan pemberontak itu. Sementara itu datanglah kakak Axel yang telah siap untuk membantu.
            “Kakak! Jangan pergi kesana, disana sangat berbahaya!” Axel takut jika kakaknya terluka.
            “Tenang saja, percayalah padaku. Aku akan kembali untukmu, lagipula ini sudah menjadi tugasku melindungi kota Rabiti.” Vaako menepuk bahu Axel dengan penuh rasa yakin.
            Mereka saling berpelukan, saling mengharapkan agar bisa selamat dan hidup bahagia seperti sebelumnya. Pasukan musuh sudah mulai mendekati kami, tembakan laser dari robot raksasa itu hampir melukai kami, kami harus bersembunyi dan menghindar agar tidak terluka.
            “Semuanya hati hati! Kita harus mencari tempat untuk berlindung!” teriak Steve dengan rasa takut.
            “Cepat ikuti aku, aku tahu dimana tempat persembunyian yang aman!” ajak Axel.
           
            Sehingga kami berlari untuk berlindung mengikuti Axel, kami telah tiba diruang bawah tanah rahasia. Kurasa tidak banyak orang yang mengetahui tempat itu. Tempat ini begitu gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Axel mengambil api untuk menyalakan semua obor sehingga ruangan menjadi terang benderang. Kami berjalan mengikuti arahan dari Axel, sehingga tibalah disebuah bangunan kecil yang kumuh.
“Tempat apa ini Axel? Begitu menyeramkan sekali.” Luna terlihat ketakutan.
            “Ini adalah tempat rahasiaku dan kakaku. Didalam rumah itu kita akan mendapatkan senjata untuk melawan mereka.”
            “Jjjjaddi kita akan melawan merekaa?!” isak Steve yang penakut.
            “Apakah kita akan berdiam diri saja saat kota telah diserang?

            Tibalah kami didalam rumah itu, mencoba mengambil berbagai keperluan senjata yang ada.
            “Hei pedang itu bagus, bisakah aku menggunakannya?” tanyaku pada Axel.
            “Tentu. Kamu sangat ahli bermain pedang, kamu cocok menggunakan itu.”
            Papeto membantu untuk memberikan senjata dari alat ciptaannya. Luna, Steve, Edward menggunakan Pistol Laser milik Papeto, aku menggunakan pedang milik Axel. Sedangkan Papeto menggunakan pedang listriknya.
            Kami telah siap untuk berperang, membantu kota Rabiti yang dijajah oleh pasukan Hezai. Saat kami keluar dari dalam ruangan tadi, telihat banyak sekali korban berjatuhan di medan perang. Banyak orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban kebiadaban Hezai. Axel semakin kesal dibuatnya, dia bersumpah tidak akan mengampuni Hezai.
            “Hezai keparat! Mati kau!” teriak Axel yang menyeramkan.
           
            Kami berpencar untuk menyerang pasukan Hezai. Beberapa pasukan Hezai pun sebagian telah turun dari dalam robot raksasa itu. Kesempatan yang bagus, aku bisa melawan mereka dalam keadaan tidak menggunakan robot. Aku berlari sekuat tenaga, mengambil posisi yang tepat untuk serangan pertamaku yang begitu keras.
            “Hyaaaaa!!” aku melompat dan menancapkan pedang dipasukan musuh.
            Serangan demi serangan telah kudapati, mereka begitu kuat! Aku dibuat kewalahan. Beberapa saat terdeteksi pasukan musuh yang ingin menyerangku dari belakang, namun aku mengetahuinya walau dalam keadaan tiba-tiba.
            “Cih!, hampir saja mengenaiku.” aku menghindar dari serangannya.

            Sementara itu ditempat Axel, dia membantu kakaknya melawan pasukan musuh. Tembakan laser dilontarkan kearah Axel, namun dia bisa menepis dengan pedang kokohnya. Vaako terlihat kesal sehingga semakin terlihat brutal. Dia menendang, memukul, dan menusuk pasukan yang membuatnya geram. Luna begitu kewalahan dengan pasukan musuh sehingga dia terpojok dan tidak dapat bergerak lagi. Aku melihatnya, dan berlari untuk menyelamatkan Luna. Saat musuh ingin menembak Luna, aku tepat waktu. Aku berhasil menusuk pasukan itu sebelum dia menembak Luna. Luna terlihat ketakutan akan hal itu sehingga dia memelukku.
            “Takeuchi, aku takut!” Luna ketakutan akan peperangan itu.
            Luna memang tidak terbiasa dengan peperangan seperti ini, karena dia hanya anak rumahan yang setiap harinya dihabiskan dengan belajar dan belajar.
            “Tenang saja, selama ada aku disini aku berjanji akan melindungimu.” aku mencoba menenangkan hati Luna.
            “Sekarang kita melawan bersama.” ajakku padanya.
            Luna menganggukkan kepalanya yang berarti itu adalah tanda bahwa dia menyetujuinya.

            Steve begitu senang bercampur takut saat melawan pasukan musuh, kupikir dia akan terlihat ketakutan sekali saat hal ini datang, tapi justru dia menyukainya. Steve terbilang anak yang manja dan takut akan hal kekerasan. Tapi saat ini dia telah berubah total, rasanya bukan seperti Steve.
Raja telah turun tangan ikut membantu, beberapa pengawalnya pun terlihat bersikeras untuk melindunginya. Robot Hezai hampir mendekati Istana, harus ada serangan untuk bisa membuatnya berhenti.
            “Edward! Tembak bagian kaki robot itu sehingga membuatnya jatuh.” perintahku pada Edward.
            Terlepas dari hal itu Edward terus menembaki kaki robot yang begitu besar, dibantu juga dengan Steve. Usahanya membawakan hasil, kaki robot itu hancur dan menjatuhkan robot yang memiliki berat puluhan ton.
            “Gotcha! Sekarang waktunya menyerang robot itu.” ujar Edward dengan senang.

            Pertarungan semakin sengit, begitu juga semakin banyak rumah yang hancur, warga Rabiti yang mati dimedan perang. Aku harus berhadapan dengan beberapa pasukan musuh lagi, mereka mengeroyokku sehingga memojokkanku. Papeto sedang berada jauh dari lokasiku sehingga dia tidak bisa membantu. Saat aku sudah ketakutan akan keterpojokan ini, dengan ancaman pedang-pedang penuh darah yang siap menusukku. Ketika pedang diangkat, aku terpejamkan karena takut setengah mati. Namun aku diselamatkan oleh seorang pria, dia menusuk pasukan itu dari belakang. Seragamnya serupa dengan seragam musuh, tapi mengapa dia menolongku?
            “Sssiapa kamu? Mengapa kamu menolongku? Kamu adalah bagian dari mereka!” aku tersontak kaget dan berhati-hati dengannya.
            “Kamu tidak perlu takut, aku berada dipihakmu.”
            “Dipihakku? Bagaimana bisa kamu berada di pihakku?” aku melontarkan pedang ke lehernya, mencoba untuk mengamcamnya.
            “Aku adalah penghianat dari pasukan Hezai.”
            “Penghianat?!!”
            “Ya benar, sebenarnya aku sudah muak dengan rencana jahatnya. Maka dari itu aku berniat ingin menggagalkannya. Karena tidak sanggup akhirnya rencana ini berhasil berjalan. Tapi aku akan membantu warga Rabiti melindungi kota ini.” Jawab lelaki itu.

            Dari perkataannya sepertinya dia benar, aku mulai mempercayainya untuk ikut membantu kami. Pasukan musuh telah datang lagi, tembakan laser telah terlontarkan ke arah kami sehingga kami harus menepisnya kuat-kuat dengan pedang. Serangan dan pukulan terlontarkan kearah musuh, inilah saat yang kutunggu-tunggu. Peperangan didunia nyata. Sebenarnya aku takut akan hal ini, tapi karena terbiasa bermain game RPG aku jadi tidak terlalu mencemaskannya. Saat musuh yang berada dihadapan kami telah gugur, aku berniat menanyakan siapa namanya.
            “Hei anak muda, siapa namamu?” tanyaku kepada ksatria itu.
            “Namaku Ronan!” teriaknya dari arah kejauhan.
            “Ah Ronan, perkenalkan aku Takeuchi, senang berkenalan denganmu!”

            Aku berteriak kepada teman-teman untuk berkumpul, kita harus menyatukan kekuatan untuk bisa mengalahkan mereka.
            “Teman-teman, kita berkumpul disini. Kita harus membuat sebuah rencana untuk mengalahkan mereka.” ajakku pada teman-teman yang berada di kejauhan.
            Teman-teman berdatangan dengan kewalahan, mereka telihat sangat letih sekali. Tapi itu menjadi sebuah pengalaman pertamanya. Anak-anak ditempatku sama sekali tidak pernah melakukan peperangan seperti ini. Hanya terdiam didalam rumah untuk belajar, bermain game dan bermain dengan teman-teman.
            “Apakah kalian melihat ditubuh robot raksasa itu ada sesuatu seperti Kristal?” aku menunjukkan tanganku kearah Kristal itu.
            “Tentu kami melihatnya, lantas apa rencananya?”
            “Ronan mengatakan bahwa itu adalah pusat jantung dari robot itu. Jika kita menghancurkannya maka seluruh sistem robotnya akan rusak.”
            “Ronan? Siapa Ronan?” tanya semua teman-teman bingung.
            “Dia teman kita, dia akan membantu kita melawan pasukan Hezai.” jawabku.
            “Saat kalian menyerang Kristal robot itu aku dan Ronan akan mencoba mendekati Hezai.”
            “Baiklah semuanya lekas bergegas!” teriakku dengan lantang.

            Semuanya pergi untuk menjalankan rencana yang telah ditentukan. Teman-temanku yang lain bersikeras menghancurkan Kristal-kristal dari tubuh robot raksasa itu. Aku berduet dengan Ronan mencoba menghancurkan bedebah Hezai. Saat kami berlari dengan begitu cepatnya, tiba-tiba suara terompet yang begitu keras terdengar dari arah portal.
            “Suara apa itu?!” Ronan tersontak kaget.
            “Sepertinya suara sebuah terompet.”
            Langkah kami terhenti saat suara itu terdengar, tiba-tiba dengan rasa takut yang semakin membara muncullah pesawat-pesawat tempur pasukan Hezai yang begitu banyak. Kami semakin dibuat cemas dan panik.
            “Sial! Bala bantuan Hezai telah datang.” ujar Ronan risih.
            “Bala bantuan katamu?” tanyaku.
            “Ya benar. Pesawat itu adalah bala bantuan yang akan membantu jika pasukan Hezai sudah mengalami kemunduran drastis!”
            Untungnya nyawa kami terselematkan, pesawat tempur pasukan kota Rabiti pun ikut meluncur membasmi semua pesawat tempur musuh. Karena sudah merasa yakin ada yang menangani mereka kami melanjutkan mendekati Hezai. Saat itu Hezai terlihat begitu letih, nafas yang bergerak begitu cepat terlihat dari arah kejauhan. Saat kami melompat untuk menyayatkan pedang tajam ini kepadanya, dia menyadarinya serta langsung menangkis serangan kami berdua. Kutendang perut Hezai sehingga membuatnya terkagetkan dan dilanjutkan oleh serangan Ronan.

            Pertarungan 2 melawan 1 berlangsung begitu serius, Hezai begitu kuat sehingga kami sulit untuk mengalahkannya.
            “Hei Ronan, apakah Hezai pernah menjadi pasukan khusus? Kuat sekali dia!” aku penasaran akan kekuatannya.
            “Tidak kamu salah. Dia tidak pernah menjadi pasukan khusus, hanya saja dia mempelajari teknik bertarung dari Kakek Asajin.”
            “Asajin? Dimanakah dia berada?” tanyaku.
            “Dia berada di pesawat tempur induk, namun pesawat itu berada diluar kota Rabiti.”
            Kami terus menyabetkan pedang yang begitu tajam dan kuat kearah Hezai sehingga membuatnya terlonta-lonta kelelahan. Kami memperhatikan sekitar, tapi hal tersebut justru membuka peluang bagi Hezai untuk menyerang kami. Kaki Ronan terkena sayatan pedang miliknya, sehingga Ronan kaget dan tidak  bisa berdiri. Hezai menendangku dengan begitu keras sehingga membuatku terpental jauh. Dikejauhan terlihat Ronan yang merasa tersiksa dengan berbagai pukulan Hezai.
            “Dasar penghianat busuk!” ucap Hezai marah.
            “Orang sepertimu pantas untuk mati!”
            Ronan terlihat ketakutan, dia tidak bisa berdiri karena kakinya telah terluka cukup parah. Ronan begitu panik, tidak tahu harus berbuat apa.
            “Kamulah yang pantas disebut busuk!” Ronan membalas cemohan Hezai.
            “Berisik! Mati Kau!” Hezai menendang Ronan dengan begitu kerasnya.
            Bom asap terlepaskan kearah Ronan, dia begitu ketakutan. Saat asap sudah menjadi tebal, dari kejauhan Hezai melempar bom kepadanya. Dan dalam hitungan detik bom itupun meledak sehingga menghancurkan beberapa rumah yang berada di sekitarnya.
            “Tidaak! Ronaaaan!!” teriakku yang kaget karena ledakan itu, merasa kawatir dengan keadaan Ronan.

            Amarahku melonjak naik seperti air yang sedang dimasak dalam kompor. Kulawan semua rasa sakit demi membalaskan dendam Ronan, dia begitu baik, aku harus bisa membalaskan dendamnya. Aku harus membuat kematian Ronan lebih berkesan. Dan aku terbangun dari keterbaringanku, berlari begitu cepat dan menyerang Hezai yang sedang lengah. Hezai terlihat kaget dengan kehadiranku yang begitu tiba-tiba. Hezai melesatkan tusukan yang begitu cepat setiap kali dia melepaskannya ke arahku. Menahan serangannya rasanya begitu sulit karena tenanganya begitu besar. Tak perduli dengan rasa sakit ini, aku harus terus berjuang demi Ronan. Dia telah mengorbankan nyawanya demi aku. Kami begitu seimbang, sulit untuk menemukan titik celah. Aku tersandung, sehingga membuat celah bagi Hezai menyerang, bahu kananku terkena sayatan pedangnya. Rasanya begitu sangat sakit sekali seperti disayat puluhan silet. Aku begitu kesakitan, mencoba menahan pendarahan yang keluar dari bahu kananku.
            “Hei anak muda, apakah hanya segitu saja kemampuanmu?” Hezai menertawakanku dengan nada yang meremehkan.
            “Cih! Ini belum seberapa, akan kubalaskan kematian Ronan untukmu keparat!”
           
            Dengan bahu kanan yang masih terluka parah aku terus berjuang memperebutkan kemenangan. Ini semua demi teman-temanku, demi Axel, kota Rabiti, dan juga untuk kematian Ronan.
            “Hyaaaa!!!” dengan satu tusukan terakhir aku berhasil menusuk perut Hezai.
            Hezai tersontak kaget, tidak mempercayai bahwa dia berhasil dikalahkan oleh siswa SMA yang sama sekali belum pernah mendapatkan pelatihan militer. Terlihat begitu banyak darah yang mengucur keluar dari perutnya, pedangku masih tertancap disana dan ketika kucabutkan pedang itu. Hezai terkapar, dan nyawanya pun telah tiada. Dengan kematian Hezai membuat semua pasukannya hilang kendali karena tidak ada yang memandunya. Sehingga membuat mereka begitu rusak, bagaikan seperti coding game yang memiliki banyak bug. Karena hal itulah mereka semua berhasil dikalahkan. Aku mencoba berlari keluar dari kota Rabiti, berusaha mencari dimana keberadaan Asajin. Aku berlarian kesana kemari, mencari pesawat induk miliknya. Pencarianku membawakan hasil yang baik, tapi mereka sudah mendapatkan perintah untuk mundur. Sehingga aku tidak sempat mengejar mereka, mereka berhasil melarikan diri.
            Papeto menyusulku untuk melihat keadaanku, dia begitu kawatir ketika melihat bahu kananku terluka begitu parah.
            “Takeuchi! Kamu terluka. Akan kuambilkan obat untukmu.” Papeto mencari obat dalam tasnya dan memberikannya kelukaku.
           
            Kami kembali menuju kota Rabiti, kota ini begitu porak-poranda. Kehancuran terjadi dimana-mana, kematian, pertumpahan darah sudah tak terbendungkan. Banyak orang-orang yang tidak bersalah harus menjadi korban kebiadaban Hezai dan pasukannya. Kami semua berkumpul didepan pintu gerbang istana, raja memberikan pidato untuk warganya bahwa kita sudah aman, mereka sudah melarikan diri.
            “Dan kita harus memberikan hormat kepada Ksatria Legenda yang telah datang untuk menolong kita.” kata Raja pada saat pidato.
            “Ksatria Legenda? Bukankah mereka sama sekali tidak datang.” kami bingung karena perkataan tadi.
            Axel tertawa dengan pertanyaan kami, seolah-olah terdapat hal yang lucu dari itu semua.
            “Kalian masih belum menyadarinya? Kalianlah Ksatria Legenda itu.”
            “Kkkkaammii? Rasanya begitu tidak mungkin!” kami dibuat kaget lagi dengan perkataan Axel.
            “Menurut legenda akan terdapat 5 Ksatria yang akan membantu kota Rabiti dari serangan musuh, kalian berjumlah 5 orang, dan kalian juga yang telah mengalahkan pasukan Hezai, maka dari itu kalianlah ksatria itu.”
            Rasanya sulit untuk dipercaya, bagaimana bisa kami menjadi ksatria legenda bagi kota ini, yang begitu ditunggu-tunggu dari sekian lamanya. Kemenangan sudah kami dapatkan, rasa gelisah telah hilang dari semua warga kota sehingga tergantikan dengan ekspresi senyuman. Pada saat kami saling tertawa membicarakan suatu hal yang lucu, tiba-tiba datanglah seorang pemuda dari arah kanan kami. Aku kaget akan kehadirannya.
            “Rrronnnaan?!” aku terbata-bata karena melihat keadaan ini.
            Aku berlari menghampirinya, mencoba menanyakan bagaiaman keadaannya.
            “Apakah kamu baik-baik saja? Ternyata kamu masih hidup! Bagaimana bisa?”
            “Tentu saja, pada saat bom asap mengabutiku, secara tak sengaja aku menginjak pintu bawah tanah. Sehingga aku berhasil masuk sebelum ledakan itu beraksi. Saat didalam, aku melihat ruangan yang begitu terang. Terdapat rumah kumuh didalamnya serta memiliki berbagai macam senjata.”
            “Hei itu ruangan rahasia milik Axel!” aku menyadarinya bahwa dia berhasil masuk kedalam ruangan rahasia Axel.
            “Benarkah? Aku sungguh tidak menyangkanya.”

            Aku dan Ronan kembali menuju teman-teman untuk mendapatkan penghormatan. Semua orang tertundukkan untuk menghormati kami begitupun dengan raja. Kamipun membalas penghormatan itu dengan berdiri tegak penuh wibawa. Raja memberikan kami hadiah karena telah membantunya, begitu banyak emas yang dia tawarkan kepada kita. Jika kami menerimanya, aku akan bisa membeli rumah. Tapi kami sudah merundingkan keputusan itu untuk tidak menerimanya, kami menolong dengan ikhlas tanpa pamrih.
            “Maaf yang mulia, bukan maksud hamba menolak, tapi kami sudah merundingkan untuk tidak menerima balasan atas yang sudah kami lakukan. Kami melakukannya dengan ikhlas.”
            Raja begitu mengagumi kami, dia menganggap bahwa kami benar-benar ksatria legenda itu. Sehingga suasana sunyi berubah menjadi sorakan-sorakan meriah.
            “Hidup Ksatria Legenda!” teriak semua warga yang berada di istana.

            Waktu kami untuk pulang telah tiba, Axel mengantarkan kami menuju pesawat ruang angkasa kami. Aku akan begitu merindukannya, dia teman terbaikku. Namun pada saat kami ingin memasuki pesawat, aku teringatkan ada pertanyaan yang belum terjawabkan olehnya.
            “Oh iya Axel, kamu belum memberitahukan kepada kami sebenarnya bagaimana warga kota Rabiti tidak pernah ditemukan manusia selama berabad-abad?”
            “Kamu harus berjanji tidak akan membocorkannya.”
            “Aku berjanji!” dengan nada yang sangat yakin aku menyetujuinya.
            “Sebenarnya kota Rabiti berada didalam perut Bulan. Leluhur kami menemukan tempat itu melalui kawah-kawah yang berada dibulan ini. Sehingga terdapat lubang yang membawa mereka menuju tempat itu. Karena merasa sulit memasukinya jika harus memasukinya melalui kawah, teknologi terus berkembang sehingga terciptalah portal yang begitu besar. Yang berfungsi untuk keluar masuknya dari kota Rabiti.”
            Teman-temanku berbalik arah dari haluannya dan menatap Axel dengan rasa yang penuh kagum.
            “Apa? Jadi bulan ini memiliki perut seperti layaknya bumi?” tanya semua teman-teman.
            “Tentu saja ada.” jawab Axel.
           
            Pertanyaan yang tertunda pun telah terjawabkan, sehingga kami bisa pulang dengan rasa tenang. Kami telah menyadari bahwa kami telah pergi begitu lama, orang tua kami pasti sangat mengkhawatirkan kami. Maka dari itu kami menggunakan mesin waktu Papeto untuk pergi ke waktu 2 jam setelah kami pergi. Sehingga kami bisa pulang kerumah dengan nyaman tanpa perlu dimarahi ibu. Pada saat sampai dirumah, tercium aroma yang begitu sedap. Aku mengenali bau ini, rendang kesukaanku! Sehingga aku berlari menuju ruang makan untuk menyantap masakan favoritku.




Tags: ,

Written by

Seorang penulis novel fantasi yang memiliki minat dalam berbagai hal seperti programming dan game making.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fantasy

Fiksi Ilmiah

Wattpad: @yusriltakeuchi

Copyright © Yurani Takeuchi | Thanks to Yusril Takeuchi