Yusril Takeuchi
Takeuchi – Birthday Cake [Special Author Birthday]
Diterbitkan
secara mandiri
melalui
blog.yusriltakeuchi.com
Credits
Oleh: Yusril Takeuchi
Copyright © 2015
by Yusril Takeuchi
Penerbit
Yusril Takeuchi
www.yusriltakeuchi.com
yusriltakeuchi@gmail.com
Desain Sampul:
Yusril Takeuchi
Episode:
5
Download PDF Version:
Diterbitkan
melalui:
Blog.yusriltakeuchi.com
Matahari telah terbit dari timur, semua makhluk hidup
yang ada dibumi ini mulai terbangun dari tidur panjangnya dimalam hari.
Ayam-ayam mulai berkokok, burung-burung mulai bernyanyi berkicau begitu
indahnya. Dan suara ibu yang begitu keras membangunkanku dari istirahat
malamku.
“Takeuchi,
cepat kamu bangun. Bergegas untuk pergi sekolah.” Ibu menggedor-gedorkan pintu
kamar.
Suara
tadi cukup membuatku terbangun dari tidur, Papeto masih tertidur pulas. Aku
menyauti panggilan ibu untuk memberikan tanda bahwa aku sudah bangun.
“Iya bu,
aku sudah bangun. Sebentar lagi aku akan turun untuk mandi dan makan pagi.”
Aku
merapihkan kasur tidurku, sepertinya Papeto masih begitu sangat mengantuk, aku
tidak tega membangunkannya sehingga kubiarkan dia masih tertidur diatas
empuknya kasur. Aku memasuki kamar mandi untuk bergegas mandi sebersih mungkin,
menggunakan sabun dan pasta gigi, serta sampo untuk rambut. Aku melihat jam,
jam terus berjalan sehingga membuatku tidak bisa bertele-tele lagi. Aku
bergegas memakai pakaian dan memasuki ruang makan untuk makan pagi. Ayah dan
ibu sudah siap akan kehadiranku. Aku duduk dibangku, bersiap untuk menikmati
hidangan nikmat dipagi hari buatan ibuku.
“Takeuchi.
Dimanakah Papeto?” tanya Ayah padaku.
“Sepertinya
dia masih tertidur pulas ayah.”
“Baiklah
jika memang begitu, membangunkannya rasany tidak sopan.”
Sehingga
kami makan bertiga tanpa Papeto. Aku bergegas berjalan dengan cepat menuju
sekolah, untuk menuntut ilmu yang begitu berharga. Saat sampai dikelas, bel
pelajaran pun telah berbunyi. Tapi hatiku rasanya hampa saat memasuki kelas
ini, ketiga sahabatku tidak masuk sekolah untuk hari ini. Biasanya aku lebih
akrab berbincang dengan mereka, namun pada saat mereka tidak ada, rasanya
seperti mati rasa.
Aku
bertanya-tanya didalam hati, hal apakah yang membuat mereka bisa tidak masuk
sekolah dihari yang sama? Seolah-olah itu sudah dijanjikan dan menjadi sebuah
rencana. Pelajaran pertama telah dimulai. Ibu Karin pun telah memasuki kelas.
Dia salah satu guru yang sangat disegani dikelasku. Jelas saja, dia adalah Wali
Kelas untuk kelas ini. Dia guru yang tegas, tapi tidak menyeramkan dan tidak
terlihat mengancam. Wajahnya yang cantik serta postur tubuhnya yang langsing
membuat setiap murid
laki-laki tidak bosan-bosan mengikuti pelajarannya.
Meski demikian, tetap saja hatiku masih terasa hampa jika
tidak ada ketiga sahabatku.
Buku
Bahasa Indonesia kubuka, bersama dengan seluruh siswa dikelas, Ibu Karin
mengarahkan untuk membuka halaman 54. Bab itu mengenai tentang cerpen. Ibu
Karin menjelaskan tentang bab yang akan kami pelajari, menerangkan begitu
detail sehingga seluruh penjelasannya masuk kedalam otak kami. Pada saat dia
selesai menerangkan, dia bertanya kepada semua murid apakah sudah paham atau
tidak.
“Baik
anak-anak, apakah kalian semua sudah paham dengan apa yang sudah Ibu jelaskan?”
“Pahaam
Bu..” jawab semua murid, suara murid laki-laki terdengar begitu lantang.
Kami diberi
tugas untuk membuat cerpen, masing-masing tiap siswa ditugaskan untuk membuat
cerpen maksimal 10 halaman. Tugas telah dimulai, semua murid telah dibuat sibuk
dengan tugas mereka, begitu pula denganku. Aku membuat cerpen tentang
pengalaman pribadi yang kumiliki. 2 hari yang lalu aku dengan sahabatku,
tentunya juga dengan Papeto menjalani petualangan besar pertama dalam hidupku.
Aku bisa pergi jalan-jalan ke bulan, melihat kota Rabiti yang begitu indahnya,
berkenalan dengan makhluk luar angkasa sehingga mendapatkan teman yaitu Axel.
Serta membantu mereka dari peperangan pihak pemberontak. Aku memberikan tag
“Berdasarkan kisah nyata” pada cerpenku, tapi dari ekspresi wajahnya,
sepertinya Ibu Karin tidak mempercayainya. Bisa dibilang wajar, karena Ibu
Karin belum pernah mengalami hal menakjubkan sepertiku. Semua tugas telah
dikumpulkan, kelas mulai terdengar begitu ramai karena para siswa telah selesai
mengerjakan tugasnya. Dan sekarang tinggal waktunya Ibu Karin memeriksa
hasilnya. Sungguh tidak kusangka, aku mendapatkan nilai yang cukup baik, Ibu
Karin mengatakan bahwa ceritaku begitu bagus. Penuh dengan kreatifitas dalam
diri.
“Takeuchi.
Cepat maju, ini hasilmu.”
Aku
terbangunkan dari tempat duduk, berjalan menuju depan kelas.
“Tugasmu
sangat bagus, ibu suka dengan kreatifitasmu.” puji Ibu Karin padaku.
Aku
tersungkur malu sehingga menundukkan kepala kebawa karena malu akan pujiannya.
“Terima
kasih bu.”
Tak
terasa waktu istirahat telah tiba, waktunya bagiku untuk istirahat sejenak dari
pelajaran. Hari ini terasa begitu sepi, tidak ada tawa dan canda dari
sahabatku. Karena merasa bosan, aku beranjak keluar dari kelas dan menuju
taman. Mencoba merungkan berbagai hal dibawah sinar matahari yang menerangi
bumi, dengan denyutan suara ayunan yang mengiringi musik alam. Aku memandangi
gedung sekolah lantai 2, aku baru menyadari bahwa ada seorang wanita yang
sedari tadi memperhatikanku. Kucoba memalingkan pandangan darinya, namun dia
tetap saja melihat kearahku. Hingga akhirnya dia pergi menghilang dari sana. Namun
justru keadaannya berubah, dari sisi kanan dia menuruni tangga, mencoba
mendekatiku yang dianggapnya sedang merenungi hal sedih.
“Hai
salam kenal, namaku Ariel. Aku siswi kelas 1 B” dia memperkenalkan dirinya
kepadaku.
Aku
membalasnya dengan menjabat tangannya serta memperkenalkan diri.
“Aku
Tak..” aku terhenti pada saat ingin mengucapkan nama karena dia berusaha untuk
menerobos ucapanku.
“Aku
tau, namamu Takeuchi kan.”
“Hei
bagaimana kamu bisa mengenaliku?” aku mulai bingung akan hal misteriusnya.
“Dalam
beberapa waktu silam, aku sering memperhatikanmu dari kejauhan. Sering
mendengar cerita tentangmu, tentang berita pembobolan semua wifi yang ada
disekolah. Sehingga kamu bisa mengetahui semua password wifi yang ada di
sekolah ini, bahkan hotel sebelah.”
“Hei
kamu mendengarnya? Tidak kusangka aku sebegitu populernya.”
Dia
mendekatiku, mencoba duduk disampingku. Sehingga kami duduk berdua dibangku
yang nyaman.
“Ada apa
denganmu? Sepertinya kamu memiliki masalah?” tanya Ariel.
Aku
menghembuskan nafas dengan begitu lembut.
“Tidak
ada yang begit serius. Hanya saja aku merasa hampa karena ketiga sahabatku
tidak masuk sekolah hari ini.”
“Waw,
rasanya seperti sudah ada perjanjian sebelumnya.”
“Seperti
itulah.”
Rasanya
dia memiliki ketertarikan denganku, karena dia begitu berantusias ingin
mengetahui banyak hal dariku. Sehingga sampai-sampai dia menanyakan apa nomor
ponselku.
“Jika
diizinkan, bolehkah aku mengetahui nomor ponselmu?”
“Oh
tentu saja, 089611761266” aku memainkan hpnya serta mencatat nomorku disana.
Kami
berbincang-bincang rasanya seperti sudah menjadi teman akrab. Perbincangan kami
begitu teramat serius sehingga tak terasa bel masuk sudah berbunyi. Yang
berarti itu adalah tanda penutup dari obrolan kita. Kami mulai berdiri dari bangku,
berjalan meninggalkan taman dan menuju ruang masing-masing. Disaat kami berada
ditangga, dia mengucapkan salam perpisahan padaku.
“Sampai
berjumpa lagi..”
Aku
menjawabnya dengan wajah yang tersenyum.
“Sampai
jumpa..”
Tak
terasa hari sudah mulai petang, waktunya bagi seluruh murid sekolahku pulang
kerumah. Diperjalanan aku memandangi pemandangan kota yang begitu indah,
mencoba mencari kesibukan tersendiri untuk menghilangkan rasa bosan. Saat
sampai didepan rumah, aku membuka pintu. Namun seluruh isi rumah begitu gelap,
rasanya seperti terjadi pemadaman listrik. Aku berteriak memanggil nama
keluargaku.
“Ibu,
Ayah, Papeto!”
Tidak
ada jawaban satupun dari sana, namun pada saat aku memasuki ruang makan.
Tiba-tiba lampu menyala, dan suara meriah pun membuatku terkejut. Diiringi
dengan suara terompet yang berbunyi begitu keras. Semua orang berada disini,
ruang makan telah didesign ulang seolah-olah ada acara penting yang ingin
diadakan. Disana terdapat sahabatku, ternyata mereka berada disini.
“Heei,
apa-apaan ini?” aku bingung dengan keadaan tiba-tiba sepert ini.
Mereka
mendekatiku, diiringi dengan Ibu yang memegang sebuah kue yang besar. Ibu
mengecup keningku, dan membuatku semakin bingung.
“Ibu,
jelaskan apa maksud dari semua ini? Aku bingung.”
Secara
serentak mereka mengatakan dengan begitu keras dan lantang.
“Selamat
ulang tahun Takeuchi!”
“Uuulang
tahun?” aku terbata-bata, tak menyangka bahwa sebenarnya hari ini adalah hari
ulang tahunku.
Aku
sampai melupakannya, ulang tahunku sendiri.
“Bagaimana
bisa kalian mengingatnya? Bahkan aku sendiri saja hampir melupakannya.”
“Ish,
ish, ish. Mana bisa suatu hari yang begitu spesial dilupakan begitu saja.”
jawab Luna dengan nada menggoda.
Ibu
mengambil korek api dari meja, mencoba menyalakan lilin ulang tahunku. Dan
diiringi dengan lagu ulang tahun yang dinyanyikan bersama-sama. Namun pada saat
aku ingin meniup lilin, aksiku terhentikan dengan ucapan ibu.
“Eiits,
jangan lupa membuat pengharapan!”
Aku
melupakan bagian ini, untung saja ibu mengingatkannya. Sehingga aku membuat
pengharapan pribadiku, yang menurutku begitu spesial. Ketika pengharapan
selesai dibuat, aku meniup lilin dengan kencang, dan terdengar semua tepukan
tangan dari teman-temanku dan ayah. Papeto juga berada disana. Aku mencoba memotong
kue ulang tahunku, mencoba mengambil potongan pertamanya untuk diberikan kepada
keseseorang yang paling spesial.
“Untuk
siapakah potongan pertama itu? Tentunya itu akan menjadi potongan yang sangat
spesial.” tanya Edward.
“Tentu
saja, untuk orang yang paling spesial dalam hidupku.”
Aku
memberikan potongan pertamku kepada ibuku, orang yang paling spesial dalam
hidupku. Yang telah mengandungku, melahirkanku, memberikanku asi dan merawatku
hingga besar seperti ini. Aku mencium kening ibu, dan memeluknya.
“Selalu
ingatkan aku jika aku berbuat salah bu, dan jangan pernah berhenti
menyayangiku.” aku mengharapkan sebuah harapan yang begitu sangat diinginkan.
“Tanpa
kamu memintanya, sudah pasti akan kulakukan.”
Potongan
kedua kuberikan kepada Ayah, dan untuk potongan ketiga kuberikan kepada wanita
spesial kedua dalam hidupku, Luna. Aku mendekatinya dengan kue yang berada
ditangan. Terlihat Steve dan Edward yang tertawa secara diam-diam dengan hal
itu dan meledekku.
“Ciee,
ciee..” ucap rayu mereka berdua.
“Ish,
apa sih kalian ini.”
Kuberikan
kue ketiga itu kepada Luna, dan menyuapinya untuk memakan kue yang begitu
spesial di hari yang cerah ini. Ternyata hari ini tidak terlalu buruk, walau
disekolah aku terlihat kesepian. Tapi dirumah aku mendapatkan sebuah kejutan
yang luar biasa.
“Tunggu,
tunggu. Kenapa kalian tidak masuk sekolah hari ini?” tanyaku pada ketiga
sahabatku.
Mereka
tertawa dengan perkataanku tadi, sehingga ibu menjelaskan tentang hal yang
sebenarnya kepadaku.
“Sebenarnya
mereka sengaja meminta kepada ibu untuk tidak masuk sekolah dalam 1 hari dengan
maksud ingin membantu dan membuat kejutan untuk ulang tahuhmu.”
“Jaadi,
ternyata kalian, melakukan semua ini demi aku?” aku terhari mendengarnya.
Mereka
semua mengangguk, yang berarti itu adalah tanda untuk menyetujuinya. Kami
bersenang-senang dipesta pada malam itu, pesta berjalan begitu meriah. Walau
hanya didatangi oleh anggota keluargaku dan sahabatku, rasanya ini menjadi
ulang tahun paling spesial dalam hidupku.
Steve dan Edward penasaran dengan pengharapan yang tadi
kubuat, sehingga rasa penasarannya sudah tak terbendungkan lagi.
“ Oh
iya, kami penasaran, sebenarnya apa pengharapanmu tadi?”
Aku
tersenyum dengan pose sedikit tertawa, mereka telah kubuat bingung.
“Tttakeuchi,
kenapa kamu tertawa?” tanya Edward.
Aku
mengambil posisi sigap, mencoba untuk meluncurkan aksiku.
“Aaaaku
ingin pergi Kencan dengan Luuunnnaaa!!” teriakku yang begitu keras sehingga
langsung berlari dari ruang tamu menuju luar rumah. Semua orang kaget dengan ucapanku.
Disusul dengan Luna yang mengejarku karena merasa malu. Aku tahu, bukan berarti
dia malu karena tidak ingin kencan denganku, tapi dia malu karena aku
mengucapkannya secara tiba-tiba didepan kedua orang tuaku, Papeto dan
teman-teman.
Hari ini
aku begitu bahagia, diulang tahun yang sederhanaku ini aku berhasil
mengungkapkan perasaan yang sudah lama aku pendam. Sedari beberapa bulan yang
lalu memang aku ingin mengatakannya, tapi belum miliki waktu yang tepat untuk
mengucapkannya, sehingga hari ini lah waktu yang paling tepat.
0 komentar:
Posting Komentar